I. Pengantar: Realitas Kepelbagaian Aliran dan Ajaran Gereja
Jika Anda menyusuri Jalan Samanhudi dari arah Jalan Gunung Sahari sampai perempatan Pecenongan, Jakarta, Anda akan mendapati beberapa gereja berdiri di sana, mulai dari Gereja Yesus Sejati, GPIB Pniel (Gereja Ayam), Gereja Kristen Karunia, GBI Exousia, GKI Samanhudi, sampai Gereja Kristen Baptis Jakarta. Hal semacam ini – entah menjadi sesuatu yang membanggakan atau justru memalukanL – yang jelas menunjukkan suatu cerminan realitas kepelbagaian di dalam kehidupan gereja. Seperti dikutip Jan S. Aritonang,[1] Buku Data dan Statistik Keagamaan Kristen Protestan tahun 1992, yang diterbitkan Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Protestan, Departemen Agama RI pada 1993, menuliskan bahwa organisasi gereja Kristen Protestan di Indonesia berjumlah sekitar 275. Di samping itu ada sekitar 400-an yayasan Kristen Protestan atau yang bersifat gerejawi (parachurch), baik yang sudah memperoleh Surat Keputusan Pendaftaran sesuai UU No. 8/1985 maupun yang belum. Jadi seluruhnya ada sekitar 700 organisasi Kristen Protestan yang berkegiatan dan melayani di lingkungan masyarakat Indonesia.
Kehadiran organisasi gereja Kristen Protestan dalam jumlah besar semacam itu pada gilirannya menimbulkan persoalan bagi (warga) GKI, terutama berkaitan dengan identitas GKI di tengah kepelbagaian aliran dan ajaran lainnya. Secara nyata, persoalan ini melahirkan bermacam-macam sikap di antara warga GKI. Yang satu sikap ekstrim keluar dari GKI dan menjelek-jelekkan GKI. Yang lainnya sikap ekstrim fanatik terhadap GKI dan menjelek-jelekkan non-GKI. Di antara kedua sikap itu, ada sikap “belum tapi hampir ekstrim”. Mereka adalah orang-orang GKI yang melihat ‘rumput tetangga’ itu selalu lebih hijau. Mereka tetap GKI tapi tendensi hati sudah “ke sana”. Ada pula sikap “tidak peduli” – semua ingin dicicipi: diajak ke sini oke, ke sana juga oke.[2]
Dua cara dapat dilakukan untuk menjawab persoalan di atas: pertama, melalui pengenalan akan GKI, dan kedua, pengenalan akan berbagai aliran dan ajaran di sekitar GKI. Pada dasarnya kedua cara ini merupakan satu kesatuan. Namun, dalam kesempatan tulisan ini, saya memfokuskan uraian pada cara kedua, itu pun terbatas pada beberapa aliran dan ajaran yang memengaruhi warga GKI saja. Pada bagian akhir tulisan, saya memberikan semacam analisis penyebab ketertarikan warga GKI kepada beberapa aliran dan ajaran di sekitarnya, dan beberapa usulan yang dapat GKI lakukan untuk menyikapi kecenderungan warga GKI tersebut.
II. Wajah Kepelbagaian Aliran dan Ajaran dalam Kekristenan: Tinjauan Historis Sekilas
Menurut tradisi-tradisi, keduabelas rasul perdana pergi untuk menyebarkan Injil Yesus Kristus ke berbagai penjuru dunia. Tradisi historis mengenang Tomas yang bepergian hingga ke Edessa dan India Timur, sedangkan Markus dikenang sebagai orang yang mewartakan Injil di Alexandria, dan Matius di Etiopia. Yohanes menghabiskan hari-hari terakhir hidupnya di Asia Kecil, sedangkan Petrus dan Paulus diyakini oleh tradisi kuno dihukum mati di Roma.[3]
Perluasan jemaat Kristen mula-mula dan persebaran awalnya yang melintasi tapal-tapal batas Yudaisme Palestina itu merancang kondisi kekristenan yang beragam dan meragam. Ketika beralih dari sebuah persekutuan kecil para murid Kristus yang berasal dari Galilea, gerakan Kristen berjumpa dengan berbagai bahasa, agama dan filsafat baru. Dalam peralihan itu, gerakan Kristen berupaya menjadikan bahasa, agama dan filsafat yang dijumpai itu sebagai kepunyaannya sendiri. Demikianlah kekristenan meluas melalui kontekstualisasi Injil sehingga memungkinkan kepelbagaian pemahaman teologis.[4] Kepelbagaian dalam kekristenan ini makin kentara manakala beberapa orang di dalam jemaat tertentu mendapatkan dan memegahkan “karunia rohani”, entah karunia mengadakan mujizat, bernubuat, membedakan ragam roh, berkata-kata dengan bahasa roh, atau menafsirkan bahasa roh (lihat 1Kor 12, 14).
Sekalipun kepelbagaian menjadi realitas dalam kekristenan, multi-wajah kekristenan bahari itu tampaknya memiliki ikatan yang satu dan kuat. Pada pemulaan abad kedua, Ignasius dari Antiokhia menggunakan istilah ‘katolik’ (dari kat’holos dalam bahasa Yunani, yang berarti ‘menurut keseluruhan’) untuk menerangkan perwujudan keterjalinan jemaat-jemaat Kristen. Ketika menulis kepada orang-orang Kristen di Smirna dalam perjalanannya ke Roma untuk eksekusi dirinya, Ignasius menasihati pembacanya untuk menjauhkan diri dari perpecahan dengan menaati uskup mereka sama seperti Yesus Kristus telah menaati Allah. Tulis Ignasius, “Di mana seorang uskup muncul, hendaknya di situ pula umat berada; sama seperti di mana Yesus Kristus berada, di sana pula Gereja Katolik.” Jemaat-jemaat di berbagai tempat dipersatukan satu sama lain dengan mengambil bagian dalam berbagai khazanah warisannya oleh para pelayan yang berkelana dan oleh kenangan-kenangan bersama yang mereka anut tentang Yesus Kristus. Keterjalinan itu pun ditampakkan melalui relasi di antara para pemimpin jemaat-jemaat itu, yakni para penatua atau uskup. Berabad-abad kemudian, paham tentang kekatolikan itu didefinisikan dalam istilah-istilah doktrinal yang lebih tegas. Namun pada masa gerakan Kristen bahari, pertalian konkret melalui berbagai pribadi dan rupa-rupa kenangan adalah jauh lebih penting daripada rumusan-rumusan intelektual yang menyangkut iman.[5]
Pada abad kedua, pertalian erat antar-jemaat Kristen menghadapi ancaman-ancaman baik dari dalam maupun luar jemaat. Dari dalam, ancaman terhadap kesatuan jemaat itu berupa upaya memecah-belah dan saling fitnah. Dari luar, ancaman datang melalui kontroversi dengan pengajar-pengajar non-Kristen, misalnya para penganut Gnostisisme[6]. Siprianus mengomentari ancaman-ancaman itu demikian: “Orang yang tidak lagi terikat pada kesatuan Gereja, masih dapatkah ia terikat pada iman? Orang yang menentang dan melawan Gereja, masih dapatkah ia berada dalam Gereja?” Bagi uskup Karthago ini, ancaman-ancaman yang kemudian melahirkan bidah dan perpecahan (skisma) lebih gawat daripada pengejaran dan penganiayaan manapun.[7]
Menjelang akhir abad kedua, perpecahan di dalam jemaat-jemaat Kristen pun terjadi. Namun tampaknya sebagian besar orang Kristen pada masa itu tidak merasa diri sebagai bagian dari satu kelompok atau faksi. Mayoritas adalah anggota jemaat yang pada gilirannya saling berhubungan melalui jaringan persaudaraan dan kepemimpinan pastoral. Ini menciptakan suatu kelompok mayoritas di dalam kekristenan, di mana para pemimpinnya menyebut diri mereka Katolik. Demikianlah Gereja Kristen raya terbentuk. Gereja ini tersebar melintasi ruang geografis yang luas di dunia.[8]
Pada kenyataannya Gereja Kristen raya abad ketiga tidak dapat dilukiskan sebagai entitas yang monolitik. Dari segi kelembagaan, Gereja Kristen raya tersebut adalah jaringan jemaat-jemaat lokal yang saling berhubungan melintasi zona budaya melalui jalur komunikasi dan relasi personal. Tak ada pemimpin administratif tunggal untuk Gereja Kristen raya itu, meskipun uskup Roma dianggap sebagai tokoh yang memiliki peran spiritual istimewa di dunia Laut Tengah. Tak ada struktur yang dapat memaksakan suatu ajaran atau liturgi yang seragam ke atas orang-orang Kristen, selain kasih dan persaudaraan timbal balik. Tak ada syahadat tunggal yang menuntun para pemeluk baru iman Kristen baik di Edessa, Alexandria maupun Roma. Jemaat-jemaat itu bahkan tidak memiliki daftar kitab kanonis yang seragam, meskipun mulai muncul konsensus umum menyangkut Injil dan surat-surat mana yang termasuk kanon di samping Kitab Suci Ibrani. Sesekali terjadi juga perpecahan di dalam jemaat. Namun jaringan yang membentuk Gereja Kristen raya mampu membangkitkan konsensus umum di kalangan internal guna melihat diri mereka sebagai bagian dari kekristenan yang universal.[9]
Formalisasi di dalam tubuh Gereja Kristen raya bergulir secara leluasa setelah Kaisar Konstantinus menjadi Kristen. Tahun 313 menjadi tonggak sejarah penting bagi gereja karena saat itu Konstantinus dan Lisianus (penguasa di wilayah timur Roma) memaklumkan Edik Milano yang menjamin kebebasan beragama di wilayah kekuasaan mereka. Dengan edik ini gereja dapat berkembang dalam kebebasan dan menikmati hak-hak yang sama dengan agama-agama lain. Malah, gereja mendapat perlakuan istimewa dari pemerintah sehingga memungkinkan pembenahan formal dan institusional berlangsung secara cepat.
Kepedulian utama Konstantinus adalah kesatuan jemaat-jemaat Kristen di wilayahnya. Konstantinus sadar bahwa apabila hendak menjadi sarana yang mempersatukan kekaisaran, maka agama Kristen harus memiliki sistem yang padu. Konstantinus sendiri tidak terikat pada satu aliran teologis tertentu dalam pelbagai perdebatan doktrinal pada zamannya. Konstantinus sangat berhasrat agar doa-doa seragam disampaikan kepada Allah atas namanya karena ia yakin bahwa Allah tidak akan memahkotainya dengan kemenangan bila gereja dirundung skisma. Konstantinus mengakui kekuatan struktural yang lahir dari kepemimpinan para uskup di wilayahnya serta daya penyatu keyakinan Kristen di antara warga negaranya yang beraneka ragam di kekaisarannya. Konstantinus berjuang untuk memperkuat aspek-aspek ini dengan menjamin adanya pernyataan doktrinal yang satu dan praktik keagamaan yang sama di kalangan berbagai jemaat itu. Namun, pada kenyataannya cita-cita dan perjuangan Konstantinus untuk menyatukan jemaat-jemaat Kristen ini tidak pernah mencapai keberhasilan.[10]
Sampai di sini kita dapat melihat bahwa dari sejak kelahirannya sampai perkembangannya pada abad keempat, kekristenan tidak pernah tampil dalam wajah tunggal. Yang tunggal adalah imannya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Kepelbagaian aliran dan ajaran adalah realitas di dalam kehidupan gereja Kristen. Ini bisa kita pahami jika kita mengingat penyebaran Injil dilakukan oleh beragam orang dan ke beragam tempat (konteks).
Relasi baik antara gereja dan pihak pemerintah yang berkuasa sempat menjadi peluang bagi proses penyatuan jemaat-jemaat Kristen. Namun proses itu tidak pernah mencapai hasil gemilang, sekalipun prosesnya melibatkan otoritas penguasa (baik pemerintah maupun gereja). Campur tangan penguasa untuk kesatuan gereja malahan makin menyuburkan semangat perpecahan. Pada umumnya pendekatan otoritarianisme dan absolutisme mempersempit ruang kebebasan beragama – padahal keberagamaan itu berkaitan erat dengan pengalaman dan penghayatan imaniah yang cenderung bersifat personal.
Pada perkembangan selanjutnya Gereja Kristen raya mengalami perpecahan yang cukup signifikan, yakni perpecahan antara Gereja Timur dan Gereja Barat. Sebetulnya alur utama Gereja Timur sudah terbentuk sebelum kekaisaran Romawi terbelah menjadi dua: Timur (Byzantium) dan Barat (Roma), pada tahun 292. Gereja-gereja lain dengan tradisi-tradisi yang tersendiri, tumbuh di luar batas-batas wilayah kekaisaran Romawi, yaitu di Persia, Armenia, Siria, Mesir, Etiopia, dan India. Gereja “Nestorian” di Persia, yang sekarang dikenal sebagai Gereja Assirian dari Timur, memisahkan diri dari persatuan gereka setelah Konsili Efesus (431), yang ajaran-ajarannya tidak mereka terima. Gereja-gereja “Monofisit” di Armenia, Siria, Mesir, Etiopia, Eritrea dan India tidak menerima ajaran-ajaran Kristologis hasil Konsili Khalsedon (451), dan dengan demikian memisahkan diri dengan gereja dalam batas wilayah kekaisaran Romawi. Mereka dikenal sebagai Gereja-gereja Ortodoks Oriental. Akhirnya, setelah peristiwa saling mengucilkan antara Patriarkh Konstantinopel dan delegasi dari Sri Paus pada tahun 1054, gereja dalam wilayah Romawi terbagi ke dalam apa yang nantinya menjadi Gereja Katolik di Barat dan Gereja Ortodoks di Timur. Ini adalah awal dari proses panjang pemisahan diri yang berpuncak pada tahun 1204.
Pada abad-pada berikutnya, usaha-usaha untuk menyatukan kembali perpisahan ini dilakukan, terutama pada Konsili Lyons II (1274) dan Konsili Ferrara-Florence (1438-1439). Dua-duanya gagal. Selanjutnya Gereja Katolik mulai mengirim misionaris-misionaris untuk bekerja di antara umat Kristen di wilayah timur kekaisaran Romawi yang terpisah. Beberapa kelompok di dalam jemaat-jemaat di wilayah timur tersebut secara spontan menyambut dan meminta untuk masuk ke dalam persekutuan penuh dengan Gereja Katolik. Dengan demikian dimulailah pembentukan Gereja-gereja Katolik Timur, yang mempertahankan banyak dari ciri-ciri liturgi, kanon (hukum gerejawi), spiritual dan teologis dari Gereja Ortodoks.[11]
Berikut ini perbedaan mencolok antara Gereja Timur dan Gereja Barat:
a. Sistem Pemerintahan Gereja
Gereja Barat: Papalisme; pusat kepemimpinan berada pada sri paus; uskup-uskup berada di bawahnya. Gereja Timur: Episkopal; kepala gereja, yakni patriarkh Konstantinopel, hanya memegang kehormatan utama.
b. Teologi
Gereja Barat: Bagaimana manusia bisa menjadi benar di hadapan Allah; karena itu perhatian teologi lebih kepada soal dosa dan rahmat. Gereja Timur: Bagaimana manusia bisa mendapatkan hidup kekal; karena itu perhatian teologi lebih kepada soal praktik spiritual (mistis).
c. Hubungan Gereja dan Negara
Gereja Barat: Pemerintah bisa mengandung unsur-unsur roh jahat; karena itu gereja harus kritis terhadapnya, sama seperti nabi-nabi PL. Gereja Timur: Pemerintah adalah gambar Allah dan wali Allah di dunia ini; karena itu gereja harus taat dan setia terhadapnya.
Perpecahan signifikan di dalam tubuh Gereja Barat kembali terjadi setelah Martin Luther melancarkan kritik terhadap Gereja Barat yang dinilai menyimpang dari ajaran Kristen yang benar. Kembali kita mendapati di sini, otoritarianisme dan absolutisme yang dipraktikkan gereja mendorong umat untuk bersikap kritis. Sikap kritis ini pun mendapat bentuk yang lebih berani ketika iklim kebebasan digulirkan zaman (pada waktu itu oleh Rennaissance). Reformasi Luther tak pelak lagi membuahkan pendirian gereja-gereja “protestan”. Dengan demikian, kini Gereja Barat terbagi ke dalam dua arus utama, yaitu: Gereja Katolik Roma dan Gereja-gereja Protestan.
Berikut ini perbedaan mencolok antara Gereja Katolik Roma dan Gereja-gereja Protestan:
a. Sistem Pemerintahan Gereja
Gereja Katolik Roma: Papalisme; pusat kepemimpinan berada pada sri paus; uskup-uskup berada di bawahnya. Gereja-gereja Protestan: Beragam sistem, antara lain: Episkopal, Prebiterial, Kongregasional.
b. Kodrat Manusia
Gereja Katolik Roma: Dosa asal mengakibatkan kodrat manusia retak, tidak sampai hancur lebur. Konsekuensinya, keselamatan diberikan Allah sebagai rahmat dengan mengandaikan usaha manusia. Gereja-gereja Protestan: Dosa asal mengakibatkan kodrat manusia hancur lebur. Konsekuensinya, keselamatan diberikan Allah sebagai rahmat saja (sola gratia); dan manusia tidak mampu berusaha apa-apa selain percaya saja (sola fidei).
c. Patokan Kehidupan Iman
Gereja Katolik Roma: Kehidupan iman selalu merujuk kepada Firman TUHAN berdasarkan terang kesaksian Alkitab, tradisi, dan kuasa pengajaran Gereja (magisterium). Gereja-gereja Protestan: Kehidupan iman selalu merujuk kepada Firman TUHAN berdasarkan terang kesaksian Alkitab saja (sola scriptura).
d. Sakramen
Gereja Katolik Roma: Ada tujuh sakramen: Ekaristi; Pengurapan Orang Sakit; Pembaptisan; Krisma; Tobat; Perkawinan; dan Tahbisan. Gereja-gereja Protestan: Ada dua sakramen berdasarkan kesaksian Alkitab: Baptisan dan Perjamuan Kudus.
Pada kenyataannya ada kelompok-kelompok yang tidak hanya menolak Gereja Barat tetapi juga tidak mau bergabung dengan kelompok Luther. Kelompok-kelompok ini melakukan Reformasi Radikal. Secara garis besar, kelompok Reformasi Radikal dibedakan atas tiga aliran, yakni: (1) Anabaptisme – mengutamakan baptisan orang dewasa; iman harus menjadi nyata dalam cara hidup baru dan kudus; (2) Spiritualisme – menekankan pimpinan langsung dari Roh Kudus dalam orang-orang percaya; dan (3) Anti-Trinitarianisme – menolak dogma-dogma gereja kuno mengenai Trinitas dan Kristologi.[12]
Perkembangan gereja-gereja Protestan selanjutnya diwarnai dengan berbagai perpecahan dan pendirian gereja baru. Hingga sekarang ini, sekalipun semangat Gerakan Ekumene terus dikobarkan, perpecahan dan pendirian gereja baru di dalam arus protestanisme masih terus berlangsung. Di bawah ini adalah gambar kepelbagaian aliran di dalam gereja:[13]
III. Beberapa Aliran dan Ajaran di sekitar GKI yang Memengaruhi Warga GKI
Setelah wajah kepelbagaian ajaran dan aliran di dalam kekristenan ditampilkan secara sekilas di atas, berikut ini saya memaparkan beberapa aliran dan ajaran di sekitar GKI yang telah berhasil memengaruhi warga GKI. Karena keterbatasan ruang, saya memfokuskan pada aliran-aliran dan ajaran-ajaran yang paling memengaruhi warga GKI, yaitu Gerakan Pentakostal, Gerakan Kharismatik, Gerakan Kharismatik-Mistik, Saksi-saksi Yehowah, Kelompok Bet Yesua Hamasiah, dan Gerakan Reformed Injili. Saya tidak memberikan uraian historis tentang aliran-aliran tersebut dan beberapa ajaran dari mereka. Uraian lengkap tentang beberapa aliran dan ajaran ini sudah disajikan antara lain oleh: Jan S. Aritonang dan Herlianto.[14]
3.1. Gerakan Pentakostal
3.1.1. Latar Belakang
Sejak dasawarsa 1830-an banyak orang di lingkungan gereja-gereja Metodis merasakan bahwa kesucian dan kesempurnaan hidup semakin kurang terpelihara – padahal kesucian dan kesempurnaan hidup merupakan pokok ajaran penting dalam kehidupan gereja Metodis.[15] Mereka pada gilirannya menghidupkan kembali ajaran dan praktik ini, sehingga muncul apa yang dinamakan Gerakan Kesucian (Holiness Movement). Kelanjutan dari Gerakan Kesucian inilah yang kemudian melahirkan Gerakan Pentakostal. Yang membedakan Gerakan Pentakostal dengan Gerakan Kesucian adalah penekanan kesucian dan kesempurnaan hidup oleh karya Roh Kudus. Bagi kelompok Pentakostal, kesucian dan kesempurnaan hidup kristiani diawali oleh pembaptisan orang percaya di dalam Roh Kudus, dan ditandai oleh karunia berbahasa asing sebagaimana diungkapkan Roh Kudus.[16]
Gerakan Pentakostal masuk ke Indonesia bermula dari golongan Indo-Eropa yang kurang mendapat perhatian gereja mereka (dalam hal ini Indische Kerk – Gereja Protestan Indonesia) karena status mereka sosial dan hukum mereka yang serba-tanggung, bukan Eropa dan bukan pribumi. Gerakan ini pun menarik simpatik masyarakat Tionghoa keturunan. Dengan cara memasuki kawasan yang sudah digarap badan-badan penginjilan dan menjaring orang-orang yang sudah Kristen, gerakan ini akhirnya meluas di pelbagai daerah di Indonesia.
3.1.2. Pokok Ajaran yang Khas
(a) Baptisan. Ada dua jenis baptisan: baptisan air dan baptisan Roh (dan api). Baptisan air merupakan lambang kematian manusia lama yang berdosa, dan kebangkitan manusia baru di dalam Kristus. Dengan makna seperti ini, baptisan air dilakukan dengan cara menyelamkan ke dalam air orang yang sudah menyatakan pertobatan dan percaya sungguh-sungguh bahwa Yesus adalah Tuhan dan Juruselamatnya. Baptisan Roh (dan api) merupakan pengokohan bagi orang percaya untuk memasuki kehidupan baru dan pelayanan.
(b) Berbahasa Lidah. Pembaptisan orang-orang percaya di dalam Roh Kudus diawali dan oleh tanda lahiriah berupa berbicara dalam bahasa lain (bahasa lidah) sebagaimana kemampuan yang diberikan Allah kepada para rasul (Kis 2:4).
(c) Penyembuhan Ilahi. Penyembuhan Ilahi merupakan bagian atau konsekuensi dari kesucian dan kesempurnaan hidup kristiani.
(d) Akhir Zaman. Yesus Kristus akan datang kembali dan memerintah dalam kerajaan seribu tahun di dunia ini, sambil memulihkan dan menyelamatkan bangsa Israel. Pemulihan Israel ini pada umumnya dihubungkan dengan kembalinya berdiri negara Israel di tanah perjanjian yang berpusat di Yerusalem. Setelah kerajaan seribu tahun itu, barulah turun langit dan bumi baru di mana kebenaran dan kedamaian akan tinggal menetap.
3.2. Gerakan Kharismatik atau Pentakostal Baru
3.2.1. Latar Belakang
Gerakan Pentakostal lambat laun melembaga menjadi denominasi atau gereja-gereja yang melembaga, dengan kepelbagaian dan perbedaan di dalamnya. Dengan demikian, timbul kesan bahwa pengalaman rohani dan karunia-karunia Roh yang khusus, hanya terdapat pada gereja-gereja Pentakostal. Sejak 1940-an beberapa tokoh Gerakan Pentakostal, seperti Oral Roberts, Gordon Lindsay, T.L. Osborn, Morris Cerullo, Pat Robertson, yang tak terikat secara kelembagaan pada gereja Pentakostal tertentu, memperkenalkan pengalaman rohani dan karunia Roh yang khas (misalnya: penyembuhan ilahi dan berbahasa lidah).
Jangkauan kalangan Gerakan Pentakostal yang melampaui batas-batas gereja Pentakostal resmi, menjadi semakin nyata terungkap melalui organisasi the Full Gospel Business Men’s Fellowship International (FGBMFI) yang dibentuk oleh Demos Shakarian, seorang milyuner di California. Organisasi ini sering menggunakan nama “persekutuan kharismatik” untuk pertemuan mereka. Pada kenyataannya kegiatan-kegiatan FGBMFI berlangsung secara mandiri, tanpa topangan atau jalinan gereja manapun, termasuk gereja Pentakostal. Itulah sebabnya anggota FGBMFI yang berhasil terjaring adalah pelaku-pelaku bisnis (businessmen) yang berasal dari pelbagai denominasi. Demikianlah FGBMFI berhasil merangkul dan menyampaikan pesan-pesan khas Pentakostal kepada kalangan Protestan arus utama justru karena organisasi ini tidak menarik mereka ke dalam gereja-gereja Pentakostal. FGBMFI malah mendorong para anggota atau peserta pertemuan-pertemuan untuk tetap rajin berbakti di gereja masing-masing, sambil melakukan “pembaruan kharismatik” di dalamnya. Hingga tahun 1980-an FGBMFI telah berhasil membentuk sekitar 2.500 cabang atau kelompok aktif, yang tersebar di seluruh dunia. Anggota atau pesertanya sebagian besar terdiri atas kalangan menengah ke atas; karena itu tidak heran jika di dalamnya ditanamkan Teologi Sukses.[17]
3.2.2. Pokok Ajaran yang Khas
(a) Puji-pujian. Hasil pertama dari kedatangan Roh Kudus lewat Baptisan Roh adalah luapan pujian dari lubuk hati orang percaya. Hasilnya orang percaya memiliki kemampuan baru memuliakan Allah, sebagaimana nampak dalam lagu-lagu pujian Kharismatik yang spontan.
(b) Allah berbicara hari ini. Allah berbicara kepada umat-Nya, baik sebagai persekutuan maupun pribadi. Orang-orang yang menerima Baptisan Roh dapat mendengar suara Allah secara langsung dan sering.
(c) Karunia-karunia Roh. Karunia-karunia Roh (lihat 1Korintus 12:8-10) bisa hadir setiap hari dan disediakan oleh Allah untuk memperlengkapi setiap orang untuk mengemban misinya. Karunia-karunia Roh yang paling utama adalah berbahasa lidah, bernubuat, dan penyembuhan.
3.2.3. Perbedaan Mencolok secara Umum antara Gerakan Kharismatik dan Gerakan Pentakostal
a. Latar Belakang Lingkungan Sosial Umat
Gerakan Kharismatik: Didominasi oleh kelas menengah ke atas. Gerakan Pentakostal: Didominasi oleh kelas menengah ke bawah.
b. Latar Belakang Pendidikan Umat
Gerakan Kharismatik: Berpendidikan tinggi. Gerakan Pentakostal: Berpendidikan rendah.
c. Kadar Kesucian
Gerakan Kharismatik: Umat yang berasal dari pelbagai denominasi dan berlatar belakang sosial perkotaan tidak terlalu ketat mengurusi soal kesucian hidup. Gerakan Pentakostal: Umat memelihara kesucian dan menjauhkan diri dari ‘dunia yang penuh dosa’ melalui penanaman nilai-nilai moral yang ketat.
d. Baptisan Roh dan Karunia Roh
Gerakan Kharismatik: Kendati Baptisan Roh merupakan pengalaman rohani yang mutlak, namun tidak mesti disertai oleh bahasa lidah. Berbahasa lidah bukanlah karunia Roh utama. Gerakan Pentakostal: Baptisan Roh harus disertai oleh karunia berbahasa lidah. Berbahasa lidah adalah karunia Roh yang utama.
3.3. Kelompok Kharismatik-Mistik
3.3.1. Latar Belakang
Kelompok Kharismatik-Mistik merupakan hasil perkembangan lanjutan dari Gerakan Kharismatik yang tersebar di Indonesia. Kelompok ini relatif tidak besar jumlahnya, tapi mampu menyebarkan pengaruh hebat kepada warga gereja di sekitarnya. Salah seorang tokoh yang dapat disebutkan sebagai wakil kelompok ini adalah Pdt. Yesaya Pariadji dari Gereja Tiberias.
3.3.2. Pokok Ajaran yang Khas
Yang membedakan Kelompok Kharismatik-Mistik dari Gerakan Pentakostal dan Gerakan Kharismatik adalah: ajaran dan praktik penyembuhan rohani dengan menggunakan sarana berupa roti dan air anggur Perjamuan Kudus, dan juga minyak urapan. Menurut kelompok ini, Perjamuan Kudus merupakan persekutuan dengan tubuh dan darah Kristus. Persekutuan itu pada gilirannya mampu menyembuhkan penyakit-penyakit di dalam tubuh manusia. Berkaitan dengan minyak urapan, Pdt. Yesaya Pariadji, yang mengaku rohnya pernah diundang Tuhan menghadap tahta-Nya di surga dengan diantar Rasul Petrus, menuliskan dalam brosurnya demikian:[18]
a. Firman Allah mengajar manusia bahwa diperlukan minyak urapan sejak manusia lahir di bumi sampai kepada kematiannya. Bahkan Allah sendiri untuk kehadiran-Nya di Bait Allah memerintahkan Nabi Musa untuk menguduskannya lebih dahulu dengan minyak urapan. Hal tersebut untuk selanjutnya harus dilakukan secara turun-temurun bagi orang Kristen. Minyak urapan diperlukan dalam hidup umat sehari-hari dan dalam rumah tangganya;
b. Minyak urapan memegang peranan penting dalam penyerahan anak, ini didasarkan Im 8:1-2 di mana disebutkan bahwa anak-anak Harun harus diserahkan dan ada sarana minyak urapan, roti tidak beragi dan korban darah. Dengan mengutip Mat 18:10 dan Luk 10:18-20 ditulis bahwa “Tuhan Yesus menyatakan dan menjanjikan bahwa ada para malaikat dari Surga yang akan menjaga dan melindungi anak-anak. Alkitab yang mengatakan harus ada sarana-sarananya, yaitu dengan kuasa minyak urapan. Sejak manusia lahir di bumi perlu minyak urapan agar tidak diganggu setan-setan dan roh-roh jahat. Maka anak-anak kecil perlu diserahkan agar sehat sentosa, agar tidak mengalami kecelakaan dan bebas dari marabahaya.”
3.4. Kelompok Bet Yesua Hamasiah
3.4.1. Latar Belakang
Sekitar tahun 1999, kelompok Iman Taqwa kepada Shiraathal Mustaqiim yang kemudian berganti nama menjadi Bet Yesua Hamasiah – dipelopori oleh Eliezer ben Abraham (atau dokter Suradi) – menerbitkan seri traktat dengan judul “Siapakah yang Bernama Allah itu?” Traktat-traktat itu menimbulkan masalah dan kebingungan di kalangan umat Kristen karena di dalamnya disebutkan bahwa nama “Allah” yang digunakan di dalam Alkitab terjemahan bahasa Indonesia Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) dianggap sebagai nama dewa bangsa Arab yang tidak patut dipakai oleh umat Kristen, dan karena itu harus diganti dengan Eloim atau Yahwe. Selanjutnya Kelompok Bet Yesua Hamasiah dan Pengagung Nama YAHWEH masing-masing menerbitkan Alkitab lengkap dalam bahasa Indonesia yang disebar secara cuma-cuma.[19]
- KITAB SUCI TORAT DAN INJIL, atau KITAB SUCI 2000, dikeluarkan oleh Bet Yesua Hamasiah, P.O. Box 6189 JKPMT 10310.
- KITAB SUCI UMAT PERJANJIAN TUHAN, dikeluarkan oleh Jaringan Gereja-gereja Pengagung Nama YAHWEH, Jakarta 2002 (tanpa alamat).
3.4.2. Pokok Ajaran yang Khas
Untuk mengetahui pokok ajaran yang khas dari Kelompok Bet Yesua Hamasiah, berikut ini adalah beberapa kutipan yang dimuat di dalam traktat-traktat mereka:[20]
ALLAH adalah nama DEWA tertinggi bangsa ARAB bersama-sama DEWI ALLATA (=dewi musim panas, pen.) dan DEWI ALLUZA (=dewi musim dingin, pen.) yang disembah sejak dahulu kala, tertulis di dalam inskripsi Arab.
Adonai YAHWE diterjemahkan dengan kata Tuhan ALLAH (Ul 9:26). YAHWE diterjemahkan dengan kata TUHAN ALLAH (Yes 12:2). Silahkan memperhatikan dengan sungguh-sungguh! Nama YAHWE telah diterjemahkan dengan nama ALLAH. Nama YAHWE adalah nama sesembahan orang Yahudi dan Nasrani. Nama ALLAH adalah nama sesembahan orang Arab yaitu nama DEWA. Nama YAHWE yang harus dikuduskan, harus dimuliakan, harus dimasyurkan dan tidak boleh disebut dengan sembarangan itu telah diganti dengan nama DEWA yang nama BERHALA. Jelaslah penggantian ini merupakan hujat yang sangat berat bagi Dia.
Stop! Stop! Stu-u-op! Jangan diteruskan hujatan Anda (maksudnya hujatan dengan pemakaian atau penyebutan nama “Allah”, pen.). Kalau Anda semula tidak tahu, pasti akan diampuni, tetapi sekarang melalui pembacaaan traktat pelayanan ini Anda menjadi tahu. Maka jangan diterus-teruskan ! ... Maka janganlah terlibat di dalam penghujatan Dia. [Hentikan hujatan Anda sekarang juta]. Akhir kata saya serukan sekali lagi: STOP! STOP! STU-U-UOP hujatan Anda!”
Dari kutipan-kutipan di atas, tampak jelas kepada kita, Kelompok Bet Yesua Hamasiah berhasrat untuk mengembalikan kekristenan kepada tatacara Yudaisme, termasuk di dalamnya tentang praktik hukum Taurat, praktik ibadat dan penggunaan bahasa asli Ibrani. Tak dapat dielakkan, yang paling memengaruhi warga gereja di Indonesia adalah ajaran tentang penggunaan nama Eloim atau YAHWE yang menggantikan nama “Allah”. Pengaruh itu sangat terasa manakala beberapa warga gereja, termasuk warga GKI, tidak lagi mau beribadah di gerejanya lantaran gerejanya dianggap masih menghujat Eloim atau YAHWE dengan pemakaian nama ‘Allah’.
3.5. Saksi-saksi Yehowah (SSY)[21]
3.5.1. Latar Belakang
Ajaran SSY muncul dalam suasana gejolak psiko-sosial-spiritual sebagai akibat benturan era pertanian dengan era industri, khususnya pada abad ke-19. Situasi demikian melahirkan aliran-aliran Kristen yang cenderung bersifat fundamentalis, otoriter, dan menekankan ajaran tentang akhir zaman.
Ajaran SSY dipelopori oleh Charles Taze Russell (1884-1916) di Pennsylvania, Amerika Serikat. Semula Russel adalah pengikut Gereja Presbiterian. Ia meninggalkan gerejanya karena meragukan ketuhanan Yesus Kristus dan menolak adanya hukuman kekal di dalam neraka. Setelah mendapat pengaruh dari pandangan Gereja Adven Hari Ketujuh, Russel meramalkan kiamat datang pada tahun 1914. Ramalannya itu tak terbukti. Kekeliruan ramalannya pada gilirannya menyebabkan banyak pengikutnya mengundurkan diri.
3.5.2. Pokok Ajaran yang Khas
a. Alkitab. Alkitab adalah firman Allah. Namun SSY tidak mau menggunakan Alkitab standar. Mereka menggunakan Alkitab sendiri, yakni versi “Terjemahan Dunia Baru” yang di dalamnya sudah dimasuki doktrin-doktrin SSY. Alkitab dipelajari dengan bantuan brosur-brosur yang diterbitkan kantor pusat SSY di Amerika Serikat.
b. Yehowah. SSY menekankan Yehowah atau YAHWEH sebagai nama Tuhan satu-satunya sehingga tidak boleh diterjemahkan. Penerjemahan nama YAHWEH atau Yehowah dianggap sebagai suatu penghujatan.
c. Yesus Kristus. Yesus Kristus bukanlah Allah, melainkan ciptaan Allah yang pertama, yang kemudian dipakai Allah sebagai perantara penciptaan lainnya. SSY menganggap Yesus mati disalibkan dan pada hari yang ketiga dibangkitkan dalam keadaan roh saja. Oleh karena itu, Yesus tidak benar-benar menebus dosa manusia. Untuk mendapatkan keselamatan, manusia harus mengusahakannya sendiri dengan perbuatan baik dan terlibat dalam penyebaran Kerajaan Yehowah.
d. Roh Kudus. Roh Kudus tidak dipercayai sebagai pribadi, tetapi sebagai energi yang keluar dari Allah. Dengan demikian, SSY menolak dan menentang ajaran Allah Tritunggal. Bagi mereka, Yehowah adalah satu-satunya Allah yang esa dan mahakuasa, dan Yesus hanyalah ciptaan pertama, sedangkan Roh Kudus bukanlah pribadi. Mereka mengganggap ajaran Allah Tritunggal sebagai produk kekafiran.
e. Akhir Zaman. SSY tidak mempercayai adanya neraka dengan siksaan api yang kekal. Pada akhir zaman, manusia akan mendapat dua pilihan: dimusnahkan dalam perang Armageddon atau dibangkitkan untuk memperoleh hidup yang kekal. Yang memperoleh hidup kekal ini: 144.000 orang yang ikut memerintah bersama Kristus di sorga, sedangkan sisanya sisa dalam Firdaus di bumi.
f. Anti Organisasi. SSY menentang semua lembaga/organisasi dunia, baik gereja maupun kemasyarakatan, karena dianggap berlawanan dengan kerajaan Yehowah.
3.6. Gerakan Reformed Injili[22]
3.6.1. Latar Belakang
Gerakan Reformed Injili lahir dari keprihatinan beberapa tokoh Kristen Injili terhadap ekses perkembangan zaman, terutama sekularisme di Eropa Barat dan liberalisme di Amerika Serikat, bagi kekristenan tradisional. Beberapa tokoh Kristen ini melihat pengaruh teologi-teologi modern, seperti teologi Rudolf Bultmann dan Karl Barth, serta maraknya Gerakan Pentakostal dan Gerakan Kharismatik, lambat laun mengaburkan, bahkan menyimpang dari pengajaran iman Kristen yang benar (ortodoks). Mereka bermaksud menegakkan kekristenan yang benar sebagaimana disemangati oleh teolog-teolog reformed yang Calvinis, seperti: Abraham Kuyper, Herman Bavinck, Hendrik Kraemer, Charles Hodge, Archibald Hodge, B.B. Warfield, Gresham Machen, Cornelius van Til, dan John Murray.
Di Indonesia doktrin Reformed Injili mulai diperkenalkan oleh Stephen Tong sejak 1964. Selanjutnya pada 1984, Stephen Tong mulai mengadakan Seminar Pembinaan Iman Kristen (SPIK) di Jakarta, untuk menegakkan doktrin Reformed dan semangat Injili (setelah mengajar theologi selama 20 tahun). Seminar Pembinaan Iman Kristen ini pada gilirannya mendorong pendirian Lembaga Reformed Injili Indonesia (LRII) pada 1986, di mana Stephen Tong mengajak Yakub Susabda dan Caleb Tong untuk menjadi pendiri bersama. Selain LRII, Stephen Tong juga mendirikan Sekolah Theologi Reformed Injili (STRI) Surabaya (1986), STRI Jakarta (1987), dan STRI Malang (1990). Dengan demikian Gerakan Reformed Injili ini makin meluas ke pelbagai daerah di Indonesia.
3.6.2. Pokok Ajaran yang Khas
Kekhasan Gerakan Reformed Injili sebenarnya ditunjukkan oleh semangat untuk kembali kepada kekristenan yang benar sebagaimana pengajaran para rasul dalam Alkitab.[23] Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah kutipan yang diambil dari tulisan Yakub B. Susabda:[24]
Sampai hari ini banyak orang masih belum memahami akan keunikan prinsip-prinsip utama doktrin Reformed “yang murni” yang sudah coba dipelihara oleh kaum Reformed yang Injili. Mereka berfikir bahwa reformed hanya merupakan salah satu warna teologi Kristen Protestan di antara teologi-teologi Protestan lainnya. Ini merupakan salah mengerti yang besar, oleh karena prinsip-prinsip utama teologi reformed tidak 100% sama atau identik dengan teologi Calvinisme. Calvinisme hanya merupakan manifestasi dari prinsip-prinsip teologi reformed yang sesuai dengan jamannya. Calvinisme adalah aktualisasi dari iman reformed dalam konteks sikon gereja-gereja di Prancis dan Eropa pada abad ke XVI-XVII. Memang Calvinisme adalah manifestasi prinsip-prinsip teologi reformed “yang terbaik” sampai sekarang ini. Tetapi Calvinisme bukanlah teologi yang sempurna. Itulah sebabnya gerakan Reformed Injili di Indonesia bukanlah gerakan “denominasional” atau gerakan untuk membangun gereja-gereja berdenominasikan Calvinisme. Gerakan Reformed Injili di Indonesia adalah gerekan yang ingin mengembalikan gereja-gereja seluruh Indonesia (dari latar belakang denominasi apapun juga) pada prinsip-prinsip utama doktrin reformed.
Pokok ajaran Reformed Injili terangkum dalam Pengakuan Iman Reformed Injili dan Pengakuan Iman Penginjilan. Karena keterbatasan ruang, dalam bagian berikut ini saya hanya memaparkan Pengakuan Iman Reformed Injili:[25]
PENGAKUAN IMAN REFORMED INJILI ALLAH
Kami percaya kepada satu-satunya Allah yang hidup dan benar, yang kekal dan keberadaan-Nya tergantung pada dirinya sendiri, yang melampaui dan mendahului semua ciptaan; yang dalam kekekalan-Nya ada dalam tiga pribadi; Bapa, Putera dan Roh Kudus, yaitu Allah yang Esa; yang menciptakan alam semesta dari ketiadaan oleh Firman-Nya yang berkuasa; yang menopang dan memerintah segala sesuatu yang telah diciptakan-Nya serta memelihara ketetapan-ketetapan-Nya yang kekal.
ALKITAB
Kami percaya bahwa Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah penyataan Allah yang sempurna yang diilhamkan Roh Kudus kepada para penulisnya dan karena itu adalah benar tanpa salah dalam naskah aslinya. Alkitab menyatakan di dalamnya kesaksian Roh Kudus, dan merupakan wibawa tunggal dan mutlak bagi iman dan kehidupan, baik untuk perseorangan, gereja, maupun masyarakat. Kami percaya bahwa Alkitab tidak bersalah dalam segala hal yang diajarkannya, termasuk hal-hal yang menyangkut sejarah dan ilmu.
MANUSIA
Kami percaya bahwa manusia telah diciptakan secara unik menurut rupa Allah, diciptakan dengan kekudusan, keadilan dan pengenalan sejati; dan diperintahkan Allah untuk menghayati pikiran-pikiran Allah sebagai seorang pemelihara perjanjian yang taat: ia dipercayakan untuk memerintah dan mengusahakan ciptaan Allah lainnya untuk kemuliaan Allah. Kami percaya bahwa seluruh segi kehidupan harus dihayati di bawah perintah Allah sebagai ungkapan ketaatan kepada hukum-hukum Allah.
DOSA
Kami percaya bahwa apa yang telah terjadi dalam diri Adam dan juga adalah wakil umat manusia, mengakibatkan seluruh umat manusia telah jatuh dalam dosa dan maut; mati secara rohani, patut menerima murka adil Allah, tanpa pengharapan dan tanpa pertolongan untuk memperoleh keselamatan, baik dari dirinya sendiri atau dari luar dirinya maupun dari dunia ini.
PERJANJIAN ANUGERAH
Kami percaya bahwa Allah dalam kekekalan telah membuat perjanjian untuk umat pilihan-Nya, dengan Yesus Kristus sebagai Kepala; bahwa melalui ketaatan Yesus Kristus yang sempurna dan kematian-Nya sebagai pengganti manusia di kayu salib, Kristus telah memenuhi tuntutan murka Allah terhadap umat-Nya.
Melalui kuasa kebangkitan Kristus, Allah terus-menerus memanggil dan mengumpulkan umat-Nya dari segala zaman dan segala bangsa untuk menjadi suatu imamat yang rajani dan bangsa yang kudus bagi kemuliaan-Nya.
YESUS KRISTUS
Kami percaya kepada Yesus Kristus, Pribadi kedua Allah Tritunggal, Allah sejati dan manusia sejati, satu-satunya Juruselamat manusia; yang telah dikandung oleh Roh Kudus, lahir dari anak dara Maria; hidup tanpa dosa, disalibkan mati dan bangkit dari kematian, naik ke surga, duduk di sebelah kanan Allah Bapa untuk bersyafaat bagi umat-Nya sebagai Imam Besar, yang berhasil dan penuh pengertian; bahwa Dia akan datang kembali dalam tubuh kemuliaan-Nya, secara kasatmata dan secara tiba-tiba untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati.
ROH KUDUS
Kami percaya kepada Roh Kudus, Pribadi ketiga Allah Tritunggal, Pengilham Ilahi Alkitab, yang menginsyafkan manusia akan dosa mereka melalui Firman-Nya, yang melahirbarukan mereka, sehingga tumbuh iman dan pertobatan kepada Yesus Kristus untuk keselamatan; Dia memperlengkapi orang-orang beriman dengan kuasa untuk menaati hukum-hukum Allah; Dia mengaruniakan kepada Gereja Yesus Kristus karunia-karunia untuk pelayanan orang kudus; Dia bersyafaat bagi orang beriman dengan keluh kesah yang tak terucapkan untuk dan sampai hari pemuliaan umat Allah.
GEREJA DAN MISI
Kami percaya akan satu Gereja yang kudus dan am, yang terdiri dari seluruh umat pilihan Allah dari segala zaman dan yang sebagiannya kini terhisap dalam gereja setempat; gereja setempat harus merupakan ungkapan dari sifat Gereja yang kudus dan am tersebut dengan menjaga kemurnian ajaran sesuai dengan Alkitab, dengan mendahulukan persatuan berdasarkan kebenaran di dalam ikatan kasih antara berbagai gereja setempat dan aliran gereja yang ada, dengan memancarkan kemuliaan Allah melalui ibadah, pengajaran Firman Allah, pelaksanaan baptisan dan perjamuan kudus, persekutuan, pelaksanaan disiplin dalam kasih, pelayanan dan misi, kami percaya bahwa gereja ada di dalam dunia untuk memberitakan Injil Yesus Kristus dan mengungkapkan Ketuhanan Kristus lewat perbuatan-perbuatan nyata. Gereja menjalankan misi Yesus Kristus, yaitu menegakkan pemerintahan Kerajaan Allah atas dunia ini, baik melalui usaha-usaha penginjilan di dunia ini, sampai Kristus datang kembali untuk merampungkan penggenapan Kerajaan-Nya.
IV. Catatan Kritis Penyebab Ketertarikan Warga GKI
Setelah memaparkan beberapa aliran dan ajaran yang memengaruhi warga gereja, termasuk warga GKI, berikut ini saya memberikan sedikit catatan kritis tentang penyebab ketertarikan warga GKI kepada aliran-aliran dan ajaran-ajaran yang sudah dikemukakan tersebut. Menurut hemat saya, ada tiga faktor yang mendorong warga GKI tertarik kepada aliran ajaran itu:
(1) Faktor dari dalam kehidupan gereja, khususnya menyangkut tendensi gereja sebagai institusi yakni terjadinya legalisme atau formalisme. Sebagai institusi, ketertiban atau keteraturan merupakan syarat yang mesti dipenuhi. Proses menata dari situasi ketidakteraturan di dalam institusi dinamai proses formalisasi. Tentunya proses ini mempunyai aspek positif bagi keberlangsungan institusi tersebut. Namun, formalisasi yang beraspek positif bisa menjadi negatif manakala diklaim dan dibenarkan sebagai satu-satunya cara pikir dengan kekuasaan. Jika formalisasi sudah di-back up dengan kekuasaan yang menegasi pola-pola pikir lain dan difanatikkan sebagai satu-satunya kebenaran dengan mengatasnamakan hukum atau aturan, di sanalah formalisasi berubah menjadi formalisme. Dampaknya jelas mempersempit ruang kebebasan dan ekspresi anggota-anggota institusi sehingga memungkinkan mereka yang “terpinggirkan” untuk keluar dari institusi tersebut guna mencari ruang baru yang melegakan mereka.
(2) Faktor pengajaran gereja, khusus menyangkut tendensi rasionalisme dalam pengajaran teologis gereja. Penekanan berlebihan terhadap rasio dalam pengajaran teologis gereja sebenarnya merupakan tindakan yang mereduksi realitas keberagamaan. Kehidupan beragama jelas memuat dimensi kodrati dan dimensi adikodrati (spiritual Ilahi). Rasionalisme tampaknya cenderung mengabaikan dimensi adikodrati. Padahal tanpa dimensi adikodrati ini, agama tidaklah menjadi agama, tetapi perkumpulan sosial. Demikianlah orang yang merasa kehilangan sentuhan dimensi adikodrati dari pengajaran agama (baca: gereja) akan mencari pengajaran lain yang menjawab kebutuhannya akan dimensi adikodrati.
(3) Faktor dari dalam diri warga gereja tersebut, khususnya akibat tendensi konteks zaman yang menyuburkan mentalitas egoisme dan pemuasan diri sendiri (self-satisfaction). Tidak dapat dielakkan, hasil-hasil perkembangan ilmu dan teknologi makin “memanjakan” manusia di dalam langkah-langkah hidupnya. Proses “pemanjaan” ini pada kenyataan lambat laun membentuk mentalitas yang menguatkan subjek “aku” sehingga egoisme dan pemuasan diri sendiri menjadi tidak terelakkan. Kuatnya subjek aku ini tidak hanya dinampakkan untuk urusan profan (dunia) tapi juga urusan spiritual keagamaan. Akibatnya orang pun berani mencari sendiri hal-hal spiritual, sesuai dengan seleranya sendiri demi pemuasan dirinya. Ketika GKI kurang atau bahkan tidak berhasil memuaskan diri orang-orang yang bermentalitas semacam ini, maka GKI akan ditinggalkan oleh orang-orang ini.
V. Penutup: Apa yang dapat GKI Lakukan?
Sebagai penutup tulisan ini, di bawah ini saya mengajukan beberapa usulan yang dapat GKI lakukan di tengah kepelbagaian aliran dan ajaran di sekitarnya. Memang, dalam kesempatan ini saya tidak memberikan uraian apologetis atau pembelaan ajaran-ajaran GKI berhadapan dengan pelbagai aliran dan ajaran tersebut. Apa yang saya usulkan merupakan ‘pekerjaan rumah’ bagi GKI yang mau tidak mau harus dikerjakan, kalau GKI ingin hidup dengan identitasnya di tengah kepelbagaian aliran dan ajaran. Usulan itu adalah sebagai berikut:
Dalam konteks zaman yang sarat dengan perkembangan ilmu dan teknologi, GKI harus “menggarami” konteks zaman, salah satunya melalui bidang pendidikan. Pendidikan yang hendaknya digalakkan GKI adalah “pendidikan untuk kehidupan” (education for life). “Pendidikan untuk kehidupan” ini dirumuskan untuk menjawab kelemahan pendidikan produk modernisme yang cenderung menghilangkan dimensi moral dan spiritual.
GKI seharusnya terus mengembangkan “spiritualitas kristosentris” bagi warga jemaatnya, yakni spiritualitas yang berpusat pada “pekerjaan-pekerjaan” Kristus. Dengan spiritualitas ini, warga GKI pada gilirannya diajak untuk berkonsentrasi dan giat pada pelayanan yang benar (ortopraksis), bukan melulu pada pengajaran yang benar (ortodoksi), demi tegaknya Kerajaan Allah.
Akhirnya GKI hendaknya menjadi gereja yang AKUR, TERATUR, dan LENTUR. Gereja yang “akur” mengandaikan adanya kasih persaudaran. Kasih persaudaraan, itulah yang Kristus, Sang Kepala Gereja, tanamkan bagi jemaat-jemaatNya. Dengan kasih persaudaraan, GKI menata diri sehingga menjadi gereja yang “teratur”. Namun, keteraturan yang diupayakan tidak mematahkan semangat reformasi pada diri GKI. GKI dapat menjadi “organisasi pembelajaran” yang pada gilirannya membuat dirinya “lentur”. Dengan demikian, GKI dapat mempraktikkan semboyan Reformasi ini: “Ecclesia reformata ed semper reformanda!” – “Gereja yang dibarui harus terus-menerus diperbarui!”
[Disampaikan di GKI Indramayu, 10 Maret 2007, oleh HMS]
Catatan Akhir:
[1] Berdasarkan Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di dalam dan di sekitar Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), h. 1.
[2] Eka Darmaputera, “Pengantar,” dalam Hodos, No. 45, Tahun 2004, h. 9-10.
[3] Dale T. Irvin dan Scott W. Sunquist, Kekristenan: Gerakan Universal – Sebuah Ulasan Sejarah dari Kekristenan Bahari sampai tahun 1453 (Maumere: Ledalero, 2005), h. 66.
[4] Irvin dan Sunquist mencontohkan bahwa kemajemukan pemahaman Kristen bahari tampil sangat mencolok dalam berbagai makna utama yang diberikan kepada gelar-gelar yang digunakan untuk menyebut jatidiri Yesus yang bangkit. Gelar-gelar seperti “Anak Allah” dan “Anak Manusia” misalnya, bisa saja mengandung arti yang lain dalam konteks yang berbeda ketika pewartaan Kristen melintasi tapal-tapal batas bahasa dan budaya. Lihat: Irvin dan Sunquist, Ibid., h. 68-dst.
[5] Irvin dan Sunquist, Ibid., h. 67.
[6] Gnostisisme (bahasa Yunani, gnosis berarti pengetahuan) merupakan sistem kepercayaan yang mengandalkan secara penuh pengetahuan khusus atau pencerahan batin tentang Allah yang membebaskan seseorang dari ketidaktahuan dan kejahatan yang merupakan ciri tata ciptaan. Gnostisisme bertentangan dengan pengajaran iman Kristen karena menyangkal: inkarnasi (sebab materi itu jahat), kematian Yesus (sebab keselamatan diperoleh melalui keutumaan gnosis dan bukan melalui karya Kristus di kayu salib), kebangkitan (tak dapat ditolerir gagasan tentang jiwa yang bertubuh, sebab tubuh adalah penjara yang menyengsarakan), panggilan universal (sebab gnosis terbatas hanya pada orang-orang yang memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam), dan etika (sebab yang diutamakan bukan praktik moral tapi praktik ritus-magis). Lihat: Eddy Kristiyanto, Gagasan yang Menjadi Peristiwa: Sketsa Sejarah Gereja Abad I-XV (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h.28-29.
[7] Berdasarkan: Kristiyanto, Ibid., h. 27.
[8] Ibid., h. 157-158.
[9] Ibid., h. 163-166.
[10] Paling tidak, pada masa Konstantinus, dua kontroversi hebat berhasil mencabik tenunan Kristen dalam Gereja Kristen raya di wilayah Romawi, yaitu: kontroversi Donatis dan kontroversi Arianis. Lihat: Irvin dan Sunquist, Op.Cit., h. 249-250.
[12] C. de Jonge, Pembimbing ke dalam Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), h. 75-76.
[13] Diambil dari gambar muka buku Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di dalam dan di sekitar Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995).
[14] Tentang Gerakan Pentakostal, Gerakan Kharismatik, lihat: Aritonang, Ibid.; dan tentang Kelompok Bet Yesua Hamasiah, lihat: Herlianto, Siapakah yang Bernama Allah itu? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), dan Anwar Tjen, “Lagi-lagi tentang Padanan Nama Ilahi,” (Bahan Diskusi Konven Pendeta GKI Klasis Jakarta Utara, 17 Januari 2005).
[15] Ajaran kesucian dan kesempurnaan hidup kristiani ditandaskan John Wesley sebagai berikut: pada waktu manusia mengalami kelahiran kembali, ‘kerak-kerak dosa’ masih tetap bersarang di dalam dirinya, dan itulah yang harus terus-menerus diperangi di sepanjang hidupnya, yakni dengan mengupayakan kesucian dan kesempurnaan hidup.
[16] Lihat: French L. Aringgton, “Pendahuluan,” dalam Doktrin Kristen Perspektif Pentakosta, jilid 1 (Jakarta: Departemen Media BPS GBI, 2004).
[17] Secara sederhana, Teologi Sukses menegaskan pandangan sebagai berikut: “Tuhan itu Raya yang kaya dan mulia. Kita adalah anak-anak Raja. Karena itu, kita juga patut menjadi kaya dan mulia seperti Sang Raja.” Lihat: F.X. Didik Bagiyowinadi, Di tengah Berbagai Angin Pengajaran: Menjawab Kontroversi Iman (Malang: Dioma, 2005), h. 88. Uraian lengkap tentang Teologi Sukses, lihat: Herlianto, Teologi Sukses: antara Allah dan Mamon (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993).
[19] Kedua Alkitab ini pada kenyataannya membajak hampir seluruh Alkitab Terjemahan Baru 1974, terbitan LAI, dan hanya mengganti padanan-padanan yang digunakan untuk YHWH, el, eloah, elohim dalam PL dan theos, kyrios dalam PB. Ini dilakukan tanpa izin atau bahkan pemberitahuan kepada LAI sebagai pemegang copyright TB. Lihat: Anwar Tjen, “Lagi-lagi tentang Padanan Nama Ilahi,” (Bahan Diskusi Konven Pendeta GKI Klasis Jakarta Utara, 17 Januari 2005).
[20] Berdasarkan Herlianto, Siapakah yang Bernama Allah itu? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), h. 3 dst.
[21] Berdasarkan tulisan F.X. Didik Bagiyowinadi, Op.Cit. h. 128-134.
[23] Sekalipun ditegaskan pengajaran para rasul dalam Alkitab, menurut saya patokan yang diacu oleh Gerakan Reformed Injili sarat dengan penafsiran doktrinal kalangan mereka. Hal ini tidak terelakkan, kecuali pengajaran para rasul dalam Alkitab itu diambil secara harfiah, apa adanya.
[24] Yakub B. Susabda, Pengantar ke dalam Teologi Reformed (Surabaya: LRII, 2001), h. 109-110.