Minggu, 25 November 2007

BERTUMBUH SEBAGAI KOINONIA YANG LEBIH SOLID

Dasar: Kisah Para Rasul 2:41-47

Suatu hari, di sebuah tempat makan di Jakarta ini, iseng-iseng saya mengamati sepasang muda-mudi sedang ngobrol-ngobrol, sementara makanan belum terhidang. Dua muda-mudi ini tampak akrab bercakap-cakap.

Namun, ada kejadian yang menarik pada mereka. Handphone (HP) milik si pemuda berbunyi, dan ternyata ada SMS masuk. Si pemuda langsung membaca dan menjawab SMS-nya itu. Lalu apa yang dilakukan si pemudi? Si pemudi itu pun mengeluarkan HP-nya dan mulailah ia menggerakkan jempolnya, menulis SMS entah untuk siapa. Begitulah akhirnya yang dilakukan dua muda-mudi ini, sibuk mengurusi SMS masing-masing. Sampai makanan datang terhidang pun, mereka tampak asyik dengan HP masing-masing. Tidak ada lagi keakraban, yang ada urusan sendiri-sendiri, dan suara HP itulah yang menjadi suara mereka sekarang.

Itulah kejadian nyata yang saya saksikan. Saya merenungkan kejadian sederhana itu, dan saya berpikir, jangan-jangan kejadian seperti ini adalah bagian dari hidup kita sekarang ini. Maksud saya adalah: sekarang ini hasil-hasil teknologi begitu memikat hati kita. Perkembangan produk entertainment, entah dalam rupa hasil teknologi atau produksi, begitu menarik hati kita, sehingga tanpa sadar menghancurkan kehidupan sosial kita, kehidupan komunal atau koinonia kita. Keakraban pemuda-pemudi tadi sirna, begitu mereka mengurusi SMS masing-masing. HP hanya salah satu contoh saja. Belum produk-produk lain, misalnya televisi. Hampir dapat dipastikan, kebutuhan televisi untuk keluarga, sekalipun dalam satu rumah, jumlahnya lebih dari satu.

Perkembangan zaman memang patut kita syukuri. Tetapi, menurut saya, kita pun mesti waspada, karena tampaknya semua itu dapat menyuburkan egoisme kita, dan kita pun menjadi orang yang mendorong terjadinya krisis komunal.

Krisis komunal atau persekutuan tidak dapat disangkali melanda kehidupan gereja juga. Ibadah Gereja sekarang ini sering dianggap sebagai spiritual entertainment, hiburan rohani, sehingga ciri kehidupan komunal atau persekutuannya lama-lama hilang. Seperti layaknya ke bioskop, umat datang ke gereja sebagai penonton-penonton: duduk, menikmati hiburan rohani, lalu pulang, tanpa suatu tali persekutuan. Kehidupan persekutuan mulai hambar.

Pertanyaan penting yang harus kita renungkan adalah: mengapa? Apa akar masalahnya? Bukan pertanyaan: siapa yang salah?! Terkadang gereja terjebak mencari solusi soal persekutuan ini dengan saling menyalahkan ini atau itu. Semakin kita saling menyalahkan, bukankah itu berarti persekutuan kita semakin tidak solid?

Mari kita belajar tentang persekutuan yang solid dan ideal dari kehidupan Jemaat Mula-mula. Mudah-mudahan dari teladan Jemaat Mula-mula, kita menemukan akar persoalan persekutuan gereja. Ada tiga hal yang dapat kita pelajari dari Jemaat Mula-mula ini:

Yang pertama, tampak pada Kis 2:41, orang-orang setelah mendengar khotbah Petrus, mereka “menerima perkataannya dan memberi diri dibaptis”. Apa artinya ini buat kita? Artinya tidak lain adalah: bahwa mereka yang mau percaya akan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat, bersikap terbuka akan pekerjaan Roh Kudus. Ingat konteks Jemaat Mula-mula masih dalam kaitan peristiwa Pentakosta, pencurahan Roh Kudus.

Orang yang bersikap terbuka akan pekerjaan Roh Kudus adalah orang yang mengutamakan kehendak Allah, bukan kehendak dirinya sendiri. Itulah yang mereka lakukan. Mereka tidak mementingkan kehendak diri sendiri tetapi “menerima perkataannya dan memberi diri dibaptis”.

Nah, bagaimana dengan kita? Apakah kita sungguh-sungguh terbuka akan pekerjaan Roh Kudus? Sungguh-sungguh mengutamakan kehendak Allah ketimbang kehendak diri sendiri? Kalau mau kehidupan persekutuan solid dan penuh kasih, maka marilah kita membuka diri di hadapan Allah. Kita masing-masing mengutamakan kehendak Kristus, bukan mengutamakan kehendak kita, hobi kita, pikiran kita, dsb. Kristuslah yang seharusnya berkuasa di dalam hidup kita. Bukankah Kristus itu Raja dalam kehidupan kita? Mengapa kita seringkali menjadi raja-raja kecil? Orang yang mengutamakan kehendak Allah hampir dapat dipastikan selalu menampakkan sikap yang rendah hati. Dan sikap rendah hati tentulah akan menumbuhkan persekutuan, koinonia, yang solid dan ideal – karena itu Rasul Paulus menasehatkan kepada Jemaat Efesus: “Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar.” (Ef 4:2)

Yang kedua, setelah Jemaat Mula-mula itu terbuka akan karya Roh Kudus, maka pada Kis 2:42 dikatakan: “mereka bertekun dalam pengajaran dan dalam persekutuan”. Kalimat “bertekun dalam pengajaran dan dalam persekutuan” menunjukkan bahwa mereka mau serius dengan kehidupan rohani dan persekutuan mereka. Mereka tidak setengah-setengah, tidak asal-asalan. Mereka bertekun! Kata bertekun di sini menunjukkan kepada kita bahwa mereka sungguh-sungguh berniat dan bertekad menumbuhkan kehidupan rohani dan persekutuan mereka. Karena mereka berniat dan bertekad, maka mereka mau belajar dan bersekutu di bawah terang Firman TUHAN.

Nah, apakah kita sudah seperti mereka? Apakah kita berniat dan bertekad untuk menumbuhkan kehidupan rohani dan persekutuan kita? Kalau kita berniat dan bertekad, maka menurut saya, kita tentu rindu untuk belajar firman TUHAN dan rindu bersekutu dengan TUHAN. Apakah kita rindu hadir dalam kegiatan-kegiatan belajar firman Tuhan di gereja?

Yang terakhir, pelajaran yang dapat kita petik dari kehidupan Jemaat Mula-mula adalah bahwa mereka selalu “berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa”. Apa artinya “berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa”? Artinya adalah: mereka selalu mau mengingat terus teladan Tuhan Yesus, yakni memecahkan roti, dan mereka juga mau bercakap-cakap dengan Tuhan Yesus di dalam doa. Mereka mengingat teladan Tuhan Yesus bukan saja melalui pikiran mereka, tapi melalui perbuatan nyata mereka. Mereka sadar, tanpa mengingat terus teladan Yesus dan tanpa bercakap-cakap dengan Tuhan Yesus di dalam doa, mereka bisa lupa diri, bisa tenggelam dalam kehidupan mereka yang terus berubah. Mereka mau tetap menjalin hubungan dengan Tuhan Yesus melalui hidup mereka.

Kita ini hidup dalam zaman yang begitu cepat berubah. Kalau kita tidak semakin erat berhubungan dengan Tuhan Yesus, maka tentu kita akan tenggelam dalam kehidupan kita sekarang ini. Tantangan zaman sekarang ini sungguh-sungguh dapat membuat persekutuan kita rapuh. Di awal saya telah menunjukkan bagaimana hasil-hasil teknologi dapat menyuburkan sikap egois, individual. Oleh karena itu, mari kita mengingat terus teladan Kristus melalui perbuatan kita. Dan jangan lupa, tumbuhkan terus kehidupan doa kita kepada Kristus.

Demikianlah ketiga hal di atas (terbuka akan karya Roh Kudus; bertekun dalam pengajaran dan dalam persekutuan, dan berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa) menjadi ciri khas umat kristiani mula-mula. Itulah kehidupan komunal, persekutuan atau koinonia yang solid dan ideal. Kehidupan persekutuan seperti itu disukai semua orang dan mendorong banyak orang untuk datang kepada Tuhan Yesus.

Kiranya Gereja bertumbuh sebagai koinonia yang lebih solid seperti Jemaat Mula-mula ini. Tuhan memberkati kita. Amin.

GKI Kedoya, 19 September 2006
HMS

Sabtu, 24 November 2007

GKI DI TENGAH KEPELBAGAIAN ALIRAN DAN AJARAN GEREJA

I. Pengantar: Realitas Kepelbagaian Aliran dan Ajaran Gereja
Jika Anda menyusuri Jalan Samanhudi dari arah Jalan Gunung Sahari sampai perempatan Pecenongan, Jakarta, Anda akan mendapati beberapa gereja berdiri di sana, mulai dari Gereja Yesus Sejati, GPIB Pniel (Gereja Ayam), Gereja Kristen Karunia, GBI Exousia, GKI Samanhudi, sampai Gereja Kristen Baptis Jakarta. Hal semacam ini – entah menjadi sesuatu yang membanggakan atau justru memalukanL – yang jelas menunjukkan suatu cerminan realitas kepelbagaian di dalam kehidupan gereja. Seperti dikutip Jan S. Aritonang,[1] Buku Data dan Statistik Keagamaan Kristen Protestan tahun 1992, yang diterbitkan Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Protestan, Departemen Agama RI pada 1993, menuliskan bahwa organisasi gereja Kristen Protestan di Indonesia berjumlah sekitar 275. Di samping itu ada sekitar 400-an yayasan Kristen Protestan atau yang bersifat gerejawi (parachurch), baik yang sudah memperoleh Surat Keputusan Pendaftaran sesuai UU No. 8/1985 maupun yang belum. Jadi seluruhnya ada sekitar 700 organisasi Kristen Protestan yang berkegiatan dan melayani di lingkungan masyarakat Indonesia.
Kehadiran organisasi gereja Kristen Protestan dalam jumlah besar semacam itu pada gilirannya menimbulkan persoalan bagi (warga) GKI, terutama berkaitan dengan identitas GKI di tengah kepelbagaian aliran dan ajaran lainnya. Secara nyata, persoalan ini melahirkan bermacam-macam sikap di antara warga GKI. Yang satu sikap ekstrim keluar dari GKI dan menjelek-jelekkan GKI. Yang lainnya sikap ekstrim fanatik terhadap GKI dan menjelek-jelekkan non-GKI. Di antara kedua sikap itu, ada sikap “belum tapi hampir ekstrim”. Mereka adalah orang-orang GKI yang melihat ‘rumput tetangga’ itu selalu lebih hijau. Mereka tetap GKI tapi tendensi hati sudah “ke sana”. Ada pula sikap “tidak peduli” – semua ingin dicicipi: diajak ke sini oke, ke sana juga oke.[2]
Dua cara dapat dilakukan untuk menjawab persoalan di atas: pertama, melalui pengenalan akan GKI, dan kedua, pengenalan akan berbagai aliran dan ajaran di sekitar GKI. Pada dasarnya kedua cara ini merupakan satu kesatuan. Namun, dalam kesempatan tulisan ini, saya memfokuskan uraian pada cara kedua, itu pun terbatas pada beberapa aliran dan ajaran yang memengaruhi warga GKI saja. Pada bagian akhir tulisan, saya memberikan semacam analisis penyebab ketertarikan warga GKI kepada beberapa aliran dan ajaran di sekitarnya, dan beberapa usulan yang dapat GKI lakukan untuk menyikapi kecenderungan warga GKI tersebut.

II. Wajah Kepelbagaian Aliran dan Ajaran dalam Kekristenan: Tinjauan Historis Sekilas
Menurut tradisi-tradisi, keduabelas rasul perdana pergi untuk menyebarkan Injil Yesus Kristus ke berbagai penjuru dunia. Tradisi historis mengenang Tomas yang bepergian hingga ke Edessa dan India Timur, sedangkan Markus dikenang sebagai orang yang mewartakan Injil di Alexandria, dan Matius di Etiopia. Yohanes menghabiskan hari-hari terakhir hidupnya di Asia Kecil, sedangkan Petrus dan Paulus diyakini oleh tradisi kuno dihukum mati di Roma.[3]
Perluasan jemaat Kristen mula-mula dan persebaran awalnya yang melintasi tapal-tapal batas Yudaisme Palestina itu merancang kondisi kekristenan yang beragam dan meragam. Ketika beralih dari sebuah persekutuan kecil para murid Kristus yang berasal dari Galilea, gerakan Kristen berjumpa dengan berbagai bahasa, agama dan filsafat baru. Dalam peralihan itu, gerakan Kristen berupaya menjadikan bahasa, agama dan filsafat yang dijumpai itu sebagai kepunyaannya sendiri. Demikianlah kekristenan meluas melalui kontekstualisasi Injil sehingga memungkinkan kepelbagaian pemahaman teologis.[4] Kepelbagaian dalam kekristenan ini makin kentara manakala beberapa orang di dalam jemaat tertentu mendapatkan dan memegahkan “karunia rohani”, entah karunia mengadakan mujizat, bernubuat, membedakan ragam roh, berkata-kata dengan bahasa roh, atau menafsirkan bahasa roh (lihat 1Kor 12, 14).
Sekalipun kepelbagaian menjadi realitas dalam kekristenan, multi-wajah kekristenan bahari itu tampaknya memiliki ikatan yang satu dan kuat. Pada pemulaan abad kedua, Ignasius dari Antiokhia menggunakan istilah ‘katolik’ (dari kat’holos dalam bahasa Yunani, yang berarti ‘menurut keseluruhan’) untuk menerangkan perwujudan keterjalinan jemaat-jemaat Kristen. Ketika menulis kepada orang-orang Kristen di Smirna dalam perjalanannya ke Roma untuk eksekusi dirinya, Ignasius menasihati pembacanya untuk menjauhkan diri dari perpecahan dengan menaati uskup mereka sama seperti Yesus Kristus telah menaati Allah. Tulis Ignasius, “Di mana seorang uskup muncul, hendaknya di situ pula umat berada; sama seperti di mana Yesus Kristus berada, di sana pula Gereja Katolik.” Jemaat-jemaat di berbagai tempat dipersatukan satu sama lain dengan mengambil bagian dalam berbagai khazanah warisannya oleh para pelayan yang berkelana dan oleh kenangan-kenangan bersama yang mereka anut tentang Yesus Kristus. Keterjalinan itu pun ditampakkan melalui relasi di antara para pemimpin jemaat-jemaat itu, yakni para penatua atau uskup. Berabad-abad kemudian, paham tentang kekatolikan itu didefinisikan dalam istilah-istilah doktrinal yang lebih tegas. Namun pada masa gerakan Kristen bahari, pertalian konkret melalui berbagai pribadi dan rupa-rupa kenangan adalah jauh lebih penting daripada rumusan-rumusan intelektual yang menyangkut iman.[5]
Pada abad kedua, pertalian erat antar-jemaat Kristen menghadapi ancaman-ancaman baik dari dalam maupun luar jemaat. Dari dalam, ancaman terhadap kesatuan jemaat itu berupa upaya memecah-belah dan saling fitnah. Dari luar, ancaman datang melalui kontroversi dengan pengajar-pengajar non-Kristen, misalnya para penganut Gnostisisme[6]. Siprianus mengomentari ancaman-ancaman itu demikian: “Orang yang tidak lagi terikat pada kesatuan Gereja, masih dapatkah ia terikat pada iman? Orang yang menentang dan melawan Gereja, masih dapatkah ia berada dalam Gereja?” Bagi uskup Karthago ini, ancaman-ancaman yang kemudian melahirkan bidah dan perpecahan (skisma) lebih gawat daripada pengejaran dan penganiayaan manapun.[7]
Menjelang akhir abad kedua, perpecahan di dalam jemaat-jemaat Kristen pun terjadi. Namun tampaknya sebagian besar orang Kristen pada masa itu tidak merasa diri sebagai bagian dari satu kelompok atau faksi. Mayoritas adalah anggota jemaat yang pada gilirannya saling berhubungan melalui jaringan persaudaraan dan kepemimpinan pastoral. Ini menciptakan suatu kelompok mayoritas di dalam kekristenan, di mana para pemimpinnya menyebut diri mereka Katolik. Demikianlah Gereja Kristen raya terbentuk. Gereja ini tersebar melintasi ruang geografis yang luas di dunia.[8]
Pada kenyataannya Gereja Kristen raya abad ketiga tidak dapat dilukiskan sebagai entitas yang monolitik. Dari segi kelembagaan, Gereja Kristen raya tersebut adalah jaringan jemaat-jemaat lokal yang saling berhubungan melintasi zona budaya melalui jalur komunikasi dan relasi personal. Tak ada pemimpin administratif tunggal untuk Gereja Kristen raya itu, meskipun uskup Roma dianggap sebagai tokoh yang memiliki peran spiritual istimewa di dunia Laut Tengah. Tak ada struktur yang dapat memaksakan suatu ajaran atau liturgi yang seragam ke atas orang-orang Kristen, selain kasih dan persaudaraan timbal balik. Tak ada syahadat tunggal yang menuntun para pemeluk baru iman Kristen baik di Edessa, Alexandria maupun Roma. Jemaat-jemaat itu bahkan tidak memiliki daftar kitab kanonis yang seragam, meskipun mulai muncul konsensus umum menyangkut Injil dan surat-surat mana yang termasuk kanon di samping Kitab Suci Ibrani. Sesekali terjadi juga perpecahan di dalam jemaat. Namun jaringan yang membentuk Gereja Kristen raya mampu membangkitkan konsensus umum di kalangan internal guna melihat diri mereka sebagai bagian dari kekristenan yang universal.[9]
Formalisasi di dalam tubuh Gereja Kristen raya bergulir secara leluasa setelah Kaisar Konstantinus menjadi Kristen. Tahun 313 menjadi tonggak sejarah penting bagi gereja karena saat itu Konstantinus dan Lisianus (penguasa di wilayah timur Roma) memaklumkan Edik Milano yang menjamin kebebasan beragama di wilayah kekuasaan mereka. Dengan edik ini gereja dapat berkembang dalam kebebasan dan menikmati hak-hak yang sama dengan agama-agama lain. Malah, gereja mendapat perlakuan istimewa dari pemerintah sehingga memungkinkan pembenahan formal dan institusional berlangsung secara cepat.
Kepedulian utama Konstantinus adalah kesatuan jemaat-jemaat Kristen di wilayahnya. Konstantinus sadar bahwa apabila hendak menjadi sarana yang mempersatukan kekaisaran, maka agama Kristen harus memiliki sistem yang padu. Konstantinus sendiri tidak terikat pada satu aliran teologis tertentu dalam pelbagai perdebatan doktrinal pada zamannya. Konstantinus sangat berhasrat agar doa-doa seragam disampaikan kepada Allah atas namanya karena ia yakin bahwa Allah tidak akan memahkotainya dengan kemenangan bila gereja dirundung skisma. Konstantinus mengakui kekuatan struktural yang lahir dari kepemimpinan para uskup di wilayahnya serta daya penyatu keyakinan Kristen di antara warga negaranya yang beraneka ragam di kekaisarannya. Konstantinus berjuang untuk memperkuat aspek-aspek ini dengan menjamin adanya pernyataan doktrinal yang satu dan praktik keagamaan yang sama di kalangan berbagai jemaat itu. Namun, pada kenyataannya cita-cita dan perjuangan Konstantinus untuk menyatukan jemaat-jemaat Kristen ini tidak pernah mencapai keberhasilan.[10]
Sampai di sini kita dapat melihat bahwa dari sejak kelahirannya sampai perkembangannya pada abad keempat, kekristenan tidak pernah tampil dalam wajah tunggal. Yang tunggal adalah imannya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Kepelbagaian aliran dan ajaran adalah realitas di dalam kehidupan gereja Kristen. Ini bisa kita pahami jika kita mengingat penyebaran Injil dilakukan oleh beragam orang dan ke beragam tempat (konteks).
Relasi baik antara gereja dan pihak pemerintah yang berkuasa sempat menjadi peluang bagi proses penyatuan jemaat-jemaat Kristen. Namun proses itu tidak pernah mencapai hasil gemilang, sekalipun prosesnya melibatkan otoritas penguasa (baik pemerintah maupun gereja). Campur tangan penguasa untuk kesatuan gereja malahan makin menyuburkan semangat perpecahan. Pada umumnya pendekatan otoritarianisme dan absolutisme mempersempit ruang kebebasan beragama – padahal keberagamaan itu berkaitan erat dengan pengalaman dan penghayatan imaniah yang cenderung bersifat personal.
Pada perkembangan selanjutnya Gereja Kristen raya mengalami perpecahan yang cukup signifikan, yakni perpecahan antara Gereja Timur dan Gereja Barat. Sebetulnya alur utama Gereja Timur sudah terbentuk sebelum kekaisaran Romawi terbelah menjadi dua: Timur (Byzantium) dan Barat (Roma), pada tahun 292. Gereja-gereja lain dengan tradisi-tradisi yang tersendiri, tumbuh di luar batas-batas wilayah kekaisaran Romawi, yaitu di Persia, Armenia, Siria, Mesir, Etiopia, dan India. Gereja “Nestorian” di Persia, yang sekarang dikenal sebagai Gereja Assirian dari Timur, memisahkan diri dari persatuan gereka setelah Konsili Efesus (431), yang ajaran-ajarannya tidak mereka terima. Gereja-gereja “Monofisit” di Armenia, Siria, Mesir, Etiopia, Eritrea dan India tidak menerima ajaran-ajaran Kristologis hasil Konsili Khalsedon (451), dan dengan demikian memisahkan diri dengan gereja dalam batas wilayah kekaisaran Romawi. Mereka dikenal sebagai Gereja-gereja Ortodoks Oriental. Akhirnya, setelah peristiwa saling mengucilkan antara Patriarkh Konstantinopel dan delegasi dari Sri Paus pada tahun 1054, gereja dalam wilayah Romawi terbagi ke dalam apa yang nantinya menjadi Gereja Katolik di Barat dan Gereja Ortodoks di Timur. Ini adalah awal dari proses panjang pemisahan diri yang berpuncak pada tahun 1204.
Pada abad-pada berikutnya, usaha-usaha untuk menyatukan kembali perpisahan ini dilakukan, terutama pada Konsili Lyons II (1274) dan Konsili Ferrara-Florence (1438-1439). Dua-duanya gagal. Selanjutnya Gereja Katolik mulai mengirim misionaris-misionaris untuk bekerja di antara umat Kristen di wilayah timur kekaisaran Romawi yang terpisah. Beberapa kelompok di dalam jemaat-jemaat di wilayah timur tersebut secara spontan menyambut dan meminta untuk masuk ke dalam persekutuan penuh dengan Gereja Katolik. Dengan demikian dimulailah pembentukan Gereja-gereja Katolik Timur, yang mempertahankan banyak dari ciri-ciri liturgi, kanon (hukum gerejawi), spiritual dan teologis dari Gereja Ortodoks.[11]

Berikut ini perbedaan mencolok antara Gereja Timur dan Gereja Barat:

a. Sistem Pemerintahan Gereja
Gereja Barat: Papalisme; pusat kepemimpinan berada pada sri paus; uskup-uskup berada di bawahnya. Gereja Timur: Episkopal; kepala gereja, yakni patriarkh Konstantinopel, hanya memegang kehormatan utama.

b. Teologi
Gereja Barat: Bagaimana manusia bisa menjadi benar di hadapan Allah; karena itu perhatian teologi lebih kepada soal dosa dan rahmat. Gereja Timur: Bagaimana manusia bisa mendapatkan hidup kekal; karena itu perhatian teologi lebih kepada soal praktik spiritual (mistis).

c. Hubungan Gereja dan Negara
Gereja Barat: Pemerintah bisa mengandung unsur-unsur roh jahat; karena itu gereja harus kritis terhadapnya, sama seperti nabi-nabi PL. Gereja Timur: Pemerintah adalah gambar Allah dan wali Allah di dunia ini; karena itu gereja harus taat dan setia terhadapnya.


Perpecahan signifikan di dalam tubuh Gereja Barat kembali terjadi setelah Martin Luther melancarkan kritik terhadap Gereja Barat yang dinilai menyimpang dari ajaran Kristen yang benar. Kembali kita mendapati di sini, otoritarianisme dan absolutisme yang dipraktikkan gereja mendorong umat untuk bersikap kritis. Sikap kritis ini pun mendapat bentuk yang lebih berani ketika iklim kebebasan digulirkan zaman (pada waktu itu oleh Rennaissance). Reformasi Luther tak pelak lagi membuahkan pendirian gereja-gereja “protestan”. Dengan demikian, kini Gereja Barat terbagi ke dalam dua arus utama, yaitu: Gereja Katolik Roma dan Gereja-gereja Protestan.

Berikut ini perbedaan mencolok antara Gereja Katolik Roma dan Gereja-gereja Protestan:

a. Sistem Pemerintahan Gereja
Gereja Katolik Roma: Papalisme; pusat kepemimpinan berada pada sri paus; uskup-uskup berada di bawahnya. Gereja-gereja Protestan: Beragam sistem, antara lain: Episkopal, Prebiterial, Kongregasional.

b. Kodrat Manusia
Gereja Katolik Roma: Dosa asal mengakibatkan kodrat manusia retak, tidak sampai hancur lebur. Konsekuensinya, keselamatan diberikan Allah sebagai rahmat dengan mengandaikan usaha manusia. Gereja-gereja Protestan: Dosa asal mengakibatkan kodrat manusia hancur lebur. Konsekuensinya, keselamatan diberikan Allah sebagai rahmat saja (sola gratia); dan manusia tidak mampu berusaha apa-apa selain percaya saja (sola fidei).


c. Patokan Kehidupan Iman
Gereja Katolik Roma: Kehidupan iman selalu merujuk kepada Firman TUHAN berdasarkan terang kesaksian Alkitab, tradisi, dan kuasa pengajaran Gereja (magisterium). Gereja-gereja Protestan: Kehidupan iman selalu merujuk kepada Firman TUHAN berdasarkan terang kesaksian Alkitab saja (sola scriptura).


d. Sakramen
Gereja Katolik Roma: Ada tujuh sakramen: Ekaristi; Pengurapan Orang Sakit; Pembaptisan; Krisma; Tobat; Perkawinan; dan Tahbisan. Gereja-gereja Protestan: Ada dua sakramen berdasarkan kesaksian Alkitab: Baptisan dan Perjamuan Kudus.


Pada kenyataannya ada kelompok-kelompok yang tidak hanya menolak Gereja Barat tetapi juga tidak mau bergabung dengan kelompok Luther. Kelompok-kelompok ini melakukan Reformasi Radikal. Secara garis besar, kelompok Reformasi Radikal dibedakan atas tiga aliran, yakni: (1) Anabaptisme – mengutamakan baptisan orang dewasa; iman harus menjadi nyata dalam cara hidup baru dan kudus; (2) Spiritualisme – menekankan pimpinan langsung dari Roh Kudus dalam orang-orang percaya; dan (3) Anti-Trinitarianisme – menolak dogma-dogma gereja kuno mengenai Trinitas dan Kristologi.[12]

Perkembangan gereja-gereja Protestan selanjutnya diwarnai dengan berbagai perpecahan dan pendirian gereja baru. Hingga sekarang ini, sekalipun semangat Gerakan Ekumene terus dikobarkan, perpecahan dan pendirian gereja baru di dalam arus protestanisme masih terus berlangsung. Di bawah ini adalah gambar kepelbagaian aliran di dalam gereja:[13]


III. Beberapa Aliran dan Ajaran di sekitar GKI yang Memengaruhi Warga GKI

Setelah wajah kepelbagaian ajaran dan aliran di dalam kekristenan ditampilkan secara sekilas di atas, berikut ini saya memaparkan beberapa aliran dan ajaran di sekitar GKI yang telah berhasil memengaruhi warga GKI. Karena keterbatasan ruang, saya memfokuskan pada aliran-aliran dan ajaran-ajaran yang paling memengaruhi warga GKI, yaitu Gerakan Pentakostal, Gerakan Kharismatik, Gerakan Kharismatik-Mistik, Saksi-saksi Yehowah, Kelompok Bet Yesua Hamasiah, dan Gerakan Reformed Injili. Saya tidak memberikan uraian historis tentang aliran-aliran tersebut dan beberapa ajaran dari mereka. Uraian lengkap tentang beberapa aliran dan ajaran ini sudah disajikan antara lain oleh: Jan S. Aritonang dan Herlianto.[14]

3.1. Gerakan Pentakostal

3.1.1. Latar Belakang
Sejak dasawarsa 1830-an banyak orang di lingkungan gereja-gereja Metodis merasakan bahwa kesucian dan kesempurnaan hidup semakin kurang terpelihara – padahal kesucian dan kesempurnaan hidup merupakan pokok ajaran penting dalam kehidupan gereja Metodis.
[15] Mereka pada gilirannya menghidupkan kembali ajaran dan praktik ini, sehingga muncul apa yang dinamakan Gerakan Kesucian (Holiness Movement). Kelanjutan dari Gerakan Kesucian inilah yang kemudian melahirkan Gerakan Pentakostal. Yang membedakan Gerakan Pentakostal dengan Gerakan Kesucian adalah penekanan kesucian dan kesempurnaan hidup oleh karya Roh Kudus. Bagi kelompok Pentakostal, kesucian dan kesempurnaan hidup kristiani diawali oleh pembaptisan orang percaya di dalam Roh Kudus, dan ditandai oleh karunia berbahasa asing sebagaimana diungkapkan Roh Kudus.[16]

Gerakan Pentakostal masuk ke Indonesia bermula dari golongan Indo-Eropa yang kurang mendapat perhatian gereja mereka (dalam hal ini Indische Kerk – Gereja Protestan Indonesia) karena status mereka sosial dan hukum mereka yang serba-tanggung, bukan Eropa dan bukan pribumi. Gerakan ini pun menarik simpatik masyarakat Tionghoa keturunan. Dengan cara memasuki kawasan yang sudah digarap badan-badan penginjilan dan menjaring orang-orang yang sudah Kristen, gerakan ini akhirnya meluas di pelbagai daerah di Indonesia.

3.1.2. Pokok Ajaran yang Khas

(a) Baptisan. Ada dua jenis baptisan: baptisan air dan baptisan Roh (dan api). Baptisan air merupakan lambang kematian manusia lama yang berdosa, dan kebangkitan manusia baru di dalam Kristus. Dengan makna seperti ini, baptisan air dilakukan dengan cara menyelamkan ke dalam air orang yang sudah menyatakan pertobatan dan percaya sungguh-sungguh bahwa Yesus adalah Tuhan dan Juruselamatnya. Baptisan Roh (dan api) merupakan pengokohan bagi orang percaya untuk memasuki kehidupan baru dan pelayanan.

(b) Berbahasa Lidah. Pembaptisan orang-orang percaya di dalam Roh Kudus diawali dan oleh tanda lahiriah berupa berbicara dalam bahasa lain (bahasa lidah) sebagaimana kemampuan yang diberikan Allah kepada para rasul (Kis 2:4).

(c) Penyembuhan Ilahi. Penyembuhan Ilahi merupakan bagian atau konsekuensi dari kesucian dan kesempurnaan hidup kristiani.

(d) Akhir Zaman. Yesus Kristus akan datang kembali dan memerintah dalam kerajaan seribu tahun di dunia ini, sambil memulihkan dan menyelamatkan bangsa Israel. Pemulihan Israel ini pada umumnya dihubungkan dengan kembalinya berdiri negara Israel di tanah perjanjian yang berpusat di Yerusalem. Setelah kerajaan seribu tahun itu, barulah turun langit dan bumi baru di mana kebenaran dan kedamaian akan tinggal menetap.

3.2. Gerakan Kharismatik atau Pentakostal Baru

3.2.1. Latar Belakang
Gerakan Pentakostal lambat laun melembaga menjadi denominasi atau gereja-gereja yang melembaga, dengan kepelbagaian dan perbedaan di dalamnya. Dengan demikian, timbul kesan bahwa pengalaman rohani dan karunia-karunia Roh yang khusus, hanya terdapat pada gereja-gereja Pentakostal. Sejak 1940-an beberapa tokoh Gerakan Pentakostal, seperti Oral Roberts, Gordon Lindsay, T.L. Osborn, Morris Cerullo, Pat Robertson, yang tak terikat secara kelembagaan pada gereja Pentakostal tertentu, memperkenalkan pengalaman rohani dan karunia Roh yang khas (misalnya: penyembuhan ilahi dan berbahasa lidah).

Jangkauan kalangan Gerakan Pentakostal yang melampaui batas-batas gereja Pentakostal resmi, menjadi semakin nyata terungkap melalui organisasi the Full Gospel Business Men’s Fellowship International (FGBMFI) yang dibentuk oleh Demos Shakarian, seorang milyuner di California. Organisasi ini sering menggunakan nama “persekutuan kharismatik” untuk pertemuan mereka. Pada kenyataannya kegiatan-kegiatan FGBMFI berlangsung secara mandiri, tanpa topangan atau jalinan gereja manapun, termasuk gereja Pentakostal. Itulah sebabnya anggota FGBMFI yang berhasil terjaring adalah pelaku-pelaku bisnis (businessmen) yang berasal dari pelbagai denominasi. Demikianlah FGBMFI berhasil merangkul dan menyampaikan pesan-pesan khas Pentakostal kepada kalangan Protestan arus utama justru karena organisasi ini tidak menarik mereka ke dalam gereja-gereja Pentakostal. FGBMFI malah mendorong para anggota atau peserta pertemuan-pertemuan untuk tetap rajin berbakti di gereja masing-masing, sambil melakukan “pembaruan kharismatik” di dalamnya. Hingga tahun 1980-an FGBMFI telah berhasil membentuk sekitar 2.500 cabang atau kelompok aktif, yang tersebar di seluruh dunia. Anggota atau pesertanya sebagian besar terdiri atas kalangan menengah ke atas; karena itu tidak heran jika di dalamnya ditanamkan Teologi Sukses.[17]

3.2.2. Pokok Ajaran yang Khas

(a) Puji-pujian. Hasil pertama dari kedatangan Roh Kudus lewat Baptisan Roh adalah luapan pujian dari lubuk hati orang percaya. Hasilnya orang percaya memiliki kemampuan baru memuliakan Allah, sebagaimana nampak dalam lagu-lagu pujian Kharismatik yang spontan.

(b) Allah berbicara hari ini. Allah berbicara kepada umat-Nya, baik sebagai persekutuan maupun pribadi. Orang-orang yang menerima Baptisan Roh dapat mendengar suara Allah secara langsung dan sering.

(c) Karunia-karunia Roh. Karunia-karunia Roh (lihat 1Korintus 12:8-10) bisa hadir setiap hari dan disediakan oleh Allah untuk memperlengkapi setiap orang untuk mengemban misinya. Karunia-karunia Roh yang paling utama adalah berbahasa lidah, bernubuat, dan penyembuhan.


3.2.3. Perbedaan Mencolok secara Umum antara Gerakan Kharismatik dan Gerakan Pentakostal


a. Latar Belakang Lingkungan Sosial Umat
Gerakan Kharismatik: Didominasi oleh kelas menengah ke atas. Gerakan Pentakostal: Didominasi oleh kelas menengah ke bawah.

b. Latar Belakang Pendidikan Umat
Gerakan Kharismatik: Berpendidikan tinggi. Gerakan Pentakostal: Berpendidikan rendah.

c. Kadar Kesucian
Gerakan Kharismatik: Umat yang berasal dari pelbagai denominasi dan berlatar belakang sosial perkotaan tidak terlalu ketat mengurusi soal kesucian hidup. Gerakan Pentakostal: Umat memelihara kesucian dan menjauhkan diri dari ‘dunia yang penuh dosa’ melalui penanaman nilai-nilai moral yang ketat.

d. Baptisan Roh dan Karunia Roh
Gerakan Kharismatik: Kendati Baptisan Roh merupakan pengalaman rohani yang mutlak, namun tidak mesti disertai oleh bahasa lidah. Berbahasa lidah bukanlah karunia Roh utama. Gerakan Pentakostal: Baptisan Roh harus disertai oleh karunia berbahasa lidah. Berbahasa lidah adalah karunia Roh yang utama.


3.3. Kelompok Kharismatik-Mistik

3.3.1. Latar Belakang
Kelompok Kharismatik-Mistik merupakan hasil perkembangan lanjutan dari Gerakan Kharismatik yang tersebar di Indonesia. Kelompok ini relatif tidak besar jumlahnya, tapi mampu menyebarkan pengaruh hebat kepada warga gereja di sekitarnya. Salah seorang tokoh yang dapat disebutkan sebagai wakil kelompok ini adalah Pdt. Yesaya Pariadji dari Gereja Tiberias.

3.3.2. Pokok Ajaran yang Khas
Yang membedakan Kelompok Kharismatik-Mistik dari Gerakan Pentakostal dan Gerakan Kharismatik adalah: ajaran dan praktik penyembuhan rohani dengan menggunakan sarana berupa roti dan air anggur Perjamuan Kudus, dan juga minyak urapan. Menurut kelompok ini, Perjamuan Kudus merupakan persekutuan dengan tubuh dan darah Kristus. Persekutuan itu pada gilirannya mampu menyembuhkan penyakit-penyakit di dalam tubuh manusia. Berkaitan dengan minyak urapan, Pdt. Yesaya Pariadji, yang mengaku rohnya pernah diundang Tuhan menghadap tahta-Nya di surga dengan diantar Rasul Petrus, menuliskan dalam brosurnya demikian:
[18]

a. Firman Allah mengajar manusia bahwa diperlukan minyak urapan sejak manusia lahir di bumi sampai kepada kematiannya. Bahkan Allah sendiri untuk kehadiran-Nya di Bait Allah memerintahkan Nabi Musa untuk menguduskannya lebih dahulu dengan minyak urapan. Hal tersebut untuk selanjutnya harus dilakukan secara turun-temurun bagi orang Kristen. Minyak urapan diperlukan dalam hidup umat sehari-hari dan dalam rumah tangganya;

b. Minyak urapan memegang peranan penting dalam penyerahan anak, ini didasarkan Im 8:1-2 di mana disebutkan bahwa anak-anak Harun harus diserahkan dan ada sarana minyak urapan, roti tidak beragi dan korban darah. Dengan mengutip Mat 18:10 dan Luk 10:18-20 ditulis bahwa “Tuhan Yesus menyatakan dan menjanjikan bahwa ada para malaikat dari Surga yang akan menjaga dan melindungi anak-anak. Alkitab yang mengatakan harus ada sarana-sarananya, yaitu dengan kuasa minyak urapan. Sejak manusia lahir di bumi perlu minyak urapan agar tidak diganggu setan-setan dan roh-roh jahat. Maka anak-anak kecil perlu diserahkan agar sehat sentosa, agar tidak mengalami kecelakaan dan bebas dari marabahaya.”


3.4. Kelompok Bet Yesua Hamasiah

3.4.1. Latar Belakang
Sekitar tahun 1999, kelompok Iman Taqwa kepada Shiraathal Mustaqiim yang kemudian berganti nama menjadi Bet Yesua Hamasiah – dipelopori oleh Eliezer ben Abraham (atau dokter Suradi) – menerbitkan seri traktat dengan judul “Siapakah yang Bernama Allah itu?” Traktat-traktat itu menimbulkan masalah dan kebingungan di kalangan umat Kristen karena di dalamnya disebutkan bahwa nama “Allah” yang digunakan di dalam Alkitab terjemahan bahasa Indonesia Lembaga Alkitab Indonesia (LAI) dianggap sebagai nama dewa bangsa Arab yang tidak patut dipakai oleh umat Kristen, dan karena itu harus diganti dengan Eloim atau Yahwe. Selanjutnya Kelompok Bet Yesua Hamasiah dan Pengagung Nama YAHWEH masing-masing menerbitkan Alkitab lengkap dalam bahasa Indonesia yang disebar secara cuma-cuma.
[19]

  • KITAB SUCI TORAT DAN INJIL, atau KITAB SUCI 2000, dikeluarkan oleh Bet Yesua Hamasiah, P.O. Box 6189 JKPMT 10310.
  • KITAB SUCI UMAT PERJANJIAN TUHAN, dikeluarkan oleh Jaringan Gereja-gereja Pengagung Nama YAHWEH, Jakarta 2002 (tanpa alamat).



3.4.2. Pokok Ajaran yang Khas
Untuk mengetahui pokok ajaran yang khas dari Kelompok Bet Yesua Hamasiah, berikut ini adalah beberapa kutipan yang dimuat di dalam traktat-traktat mereka:
[20]

ALLAH adalah nama DEWA tertinggi bangsa ARAB bersama-sama DEWI ALLATA (=dewi musim panas, pen.) dan DEWI ALLUZA (=dewi musim dingin, pen.) yang disembah sejak dahulu kala, tertulis di dalam inskripsi Arab.

Adonai YAHWE diterjemahkan dengan kata Tuhan ALLAH (Ul 9:26). YAHWE diterjemahkan dengan kata TUHAN ALLAH (Yes 12:2). Silahkan memperhatikan dengan sungguh-sungguh! Nama YAHWE telah diterjemahkan dengan nama ALLAH. Nama YAHWE adalah nama sesembahan orang Yahudi dan Nasrani. Nama ALLAH adalah nama sesembahan orang Arab yaitu nama DEWA. Nama YAHWE yang harus dikuduskan, harus dimuliakan, harus dimasyurkan dan tidak boleh disebut dengan sembarangan itu telah diganti dengan nama DEWA yang nama BERHALA. Jelaslah penggantian ini merupakan hujat yang sangat berat bagi Dia.

Stop! Stop! Stu-u-op! Jangan diteruskan hujatan Anda (maksudnya hujatan dengan pemakaian atau penyebutan nama “Allah”, pen.). Kalau Anda semula tidak tahu, pasti akan diampuni, tetapi sekarang melalui pembacaaan traktat pelayanan ini Anda menjadi tahu. Maka jangan diterus-teruskan ! ... Maka janganlah terlibat di dalam penghujatan Dia. [Hentikan hujatan Anda sekarang juta]. Akhir kata saya serukan sekali lagi: STOP! STOP! STU-U-UOP hujatan Anda!”



Dari kutipan-kutipan di atas, tampak jelas kepada kita, Kelompok Bet Yesua Hamasiah berhasrat untuk mengembalikan kekristenan kepada tatacara Yudaisme, termasuk di dalamnya tentang praktik hukum Taurat, praktik ibadat dan penggunaan bahasa asli Ibrani. Tak dapat dielakkan, yang paling memengaruhi warga gereja di Indonesia adalah ajaran tentang penggunaan nama Eloim atau YAHWE yang menggantikan nama “Allah”. Pengaruh itu sangat terasa manakala beberapa warga gereja, termasuk warga GKI, tidak lagi mau beribadah di gerejanya lantaran gerejanya dianggap masih menghujat Eloim atau YAHWE dengan pemakaian nama ‘Allah’.


3.5. Saksi-saksi Yehowah (SSY)
[21]

3.5.1. Latar Belakang
Ajaran SSY muncul dalam suasana gejolak psiko-sosial-spiritual sebagai akibat benturan era pertanian dengan era industri, khususnya pada abad ke-19. Situasi demikian melahirkan aliran-aliran Kristen yang cenderung bersifat fundamentalis, otoriter, dan menekankan ajaran tentang akhir zaman.

Ajaran SSY dipelopori oleh Charles Taze Russell (1884-1916) di Pennsylvania, Amerika Serikat. Semula Russel adalah pengikut Gereja Presbiterian. Ia meninggalkan gerejanya karena meragukan ketuhanan Yesus Kristus dan menolak adanya hukuman kekal di dalam neraka. Setelah mendapat pengaruh dari pandangan Gereja Adven Hari Ketujuh, Russel meramalkan kiamat datang pada tahun 1914. Ramalannya itu tak terbukti. Kekeliruan ramalannya pada gilirannya menyebabkan banyak pengikutnya mengundurkan diri.

3.5.2. Pokok Ajaran yang Khas

a. Alkitab. Alkitab adalah firman Allah. Namun SSY tidak mau menggunakan Alkitab standar. Mereka menggunakan Alkitab sendiri, yakni versi “Terjemahan Dunia Baru” yang di dalamnya sudah dimasuki doktrin-doktrin SSY. Alkitab dipelajari dengan bantuan brosur-brosur yang diterbitkan kantor pusat SSY di Amerika Serikat.

b. Yehowah. SSY menekankan Yehowah atau YAHWEH sebagai nama Tuhan satu-satunya sehingga tidak boleh diterjemahkan. Penerjemahan nama YAHWEH atau Yehowah dianggap sebagai suatu penghujatan.

c. Yesus Kristus. Yesus Kristus bukanlah Allah, melainkan ciptaan Allah yang pertama, yang kemudian dipakai Allah sebagai perantara penciptaan lainnya. SSY menganggap Yesus mati disalibkan dan pada hari yang ketiga dibangkitkan dalam keadaan roh saja. Oleh karena itu, Yesus tidak benar-benar menebus dosa manusia. Untuk mendapatkan keselamatan, manusia harus mengusahakannya sendiri dengan perbuatan baik dan terlibat dalam penyebaran Kerajaan Yehowah.

d. Roh Kudus. Roh Kudus tidak dipercayai sebagai pribadi, tetapi sebagai energi yang keluar dari Allah. Dengan demikian, SSY menolak dan menentang ajaran Allah Tritunggal. Bagi mereka, Yehowah adalah satu-satunya Allah yang esa dan mahakuasa, dan Yesus hanyalah ciptaan pertama, sedangkan Roh Kudus bukanlah pribadi. Mereka mengganggap ajaran Allah Tritunggal sebagai produk kekafiran.

e. Akhir Zaman. SSY tidak mempercayai adanya neraka dengan siksaan api yang kekal. Pada akhir zaman, manusia akan mendapat dua pilihan: dimusnahkan dalam perang Armageddon atau dibangkitkan untuk memperoleh hidup yang kekal. Yang memperoleh hidup kekal ini: 144.000 orang yang ikut memerintah bersama Kristus di sorga, sedangkan sisanya sisa dalam Firdaus di bumi.

f. Anti Organisasi. SSY menentang semua lembaga/organisasi dunia, baik gereja maupun kemasyarakatan, karena dianggap berlawanan dengan kerajaan Yehowah.


3.6. Gerakan Reformed Injili
[22]

3.6.1. Latar Belakang
Gerakan Reformed Injili lahir dari keprihatinan beberapa tokoh Kristen Injili terhadap ekses perkembangan zaman, terutama sekularisme di Eropa Barat dan liberalisme di Amerika Serikat, bagi kekristenan tradisional. Beberapa tokoh Kristen ini melihat pengaruh teologi-teologi modern, seperti teologi Rudolf Bultmann dan Karl Barth, serta maraknya Gerakan Pentakostal dan Gerakan Kharismatik, lambat laun mengaburkan, bahkan menyimpang dari pengajaran iman Kristen yang benar (ortodoks). Mereka bermaksud menegakkan kekristenan yang benar sebagaimana disemangati oleh teolog-teolog reformed yang Calvinis, seperti: Abraham Kuyper, Herman Bavinck, Hendrik Kraemer, Charles Hodge, Archibald Hodge, B.B. Warfield, Gresham Machen, Cornelius van Til, dan John Murray.

Di Indonesia doktrin Reformed Injili mulai diperkenalkan oleh Stephen Tong sejak 1964. Selanjutnya pada 1984, Stephen Tong mulai mengadakan Seminar Pembinaan Iman Kristen (SPIK) di Jakarta, untuk menegakkan doktrin Reformed dan semangat Injili (setelah mengajar theologi selama 20 tahun). Seminar Pembinaan Iman Kristen ini pada gilirannya mendorong pendirian Lembaga Reformed Injili Indonesia (LRII) pada 1986, di mana Stephen Tong mengajak Yakub Susabda dan Caleb Tong untuk menjadi pendiri bersama. Selain LRII, Stephen Tong juga mendirikan Sekolah Theologi Reformed Injili (STRI) Surabaya (1986), STRI Jakarta (1987), dan STRI Malang (1990). Dengan demikian Gerakan Reformed Injili ini makin meluas ke pelbagai daerah di Indonesia.

3.6.2. Pokok Ajaran yang Khas
Kekhasan Gerakan Reformed Injili sebenarnya ditunjukkan oleh semangat untuk kembali kepada kekristenan yang benar sebagaimana pengajaran para rasul dalam Alkitab.
[23] Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah kutipan yang diambil dari tulisan Yakub B. Susabda:[24]

Sampai hari ini banyak orang masih belum memahami akan keunikan prinsip-prinsip utama doktrin Reformed “yang murni” yang sudah coba dipelihara oleh kaum Reformed yang Injili. Mereka berfikir bahwa reformed hanya merupakan salah satu warna teologi Kristen Protestan di antara teologi-teologi Protestan lainnya. Ini merupakan salah mengerti yang besar, oleh karena prinsip-prinsip utama teologi reformed tidak 100% sama atau identik dengan teologi Calvinisme. Calvinisme hanya merupakan manifestasi dari prinsip-prinsip teologi reformed yang sesuai dengan jamannya. Calvinisme adalah aktualisasi dari iman reformed dalam konteks sikon gereja-gereja di Prancis dan Eropa pada abad ke XVI-XVII. Memang Calvinisme adalah manifestasi prinsip-prinsip teologi reformed “yang terbaik” sampai sekarang ini. Tetapi Calvinisme bukanlah teologi yang sempurna. Itulah sebabnya gerakan Reformed Injili di Indonesia bukanlah gerakan “denominasional” atau gerakan untuk membangun gereja-gereja berdenominasikan Calvinisme. Gerakan Reformed Injili di Indonesia adalah gerekan yang ingin mengembalikan gereja-gereja seluruh Indonesia (dari latar belakang denominasi apapun juga) pada prinsip-prinsip utama doktrin reformed.

Pokok ajaran Reformed Injili terangkum dalam Pengakuan Iman Reformed Injili dan Pengakuan Iman Penginjilan. Karena keterbatasan ruang, dalam bagian berikut ini saya hanya memaparkan Pengakuan Iman Reformed Injili:[25]

PENGAKUAN IMAN REFORMED INJILI ALLAH
Kami percaya kepada satu-satunya Allah yang hidup dan benar, yang kekal dan keberadaan-Nya tergantung pada dirinya sendiri, yang melampaui dan mendahului semua ciptaan; yang dalam kekekalan-Nya ada dalam tiga pribadi; Bapa, Putera dan Roh Kudus, yaitu Allah yang Esa; yang menciptakan alam semesta dari ketiadaan oleh Firman-Nya yang berkuasa; yang menopang dan memerintah segala sesuatu yang telah diciptakan-Nya serta memelihara ketetapan-ketetapan-Nya yang kekal.

ALKITAB
Kami percaya bahwa Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru adalah penyataan Allah yang sempurna yang diilhamkan Roh Kudus kepada para penulisnya dan karena itu adalah benar tanpa salah dalam naskah aslinya. Alkitab menyatakan di dalamnya kesaksian Roh Kudus, dan merupakan wibawa tunggal dan mutlak bagi iman dan kehidupan, baik untuk perseorangan, gereja, maupun masyarakat. Kami percaya bahwa Alkitab tidak bersalah dalam segala hal yang diajarkannya, termasuk hal-hal yang menyangkut sejarah dan ilmu.

MANUSIA
Kami percaya bahwa manusia telah diciptakan secara unik menurut rupa Allah, diciptakan dengan kekudusan, keadilan dan pengenalan sejati; dan diperintahkan Allah untuk menghayati pikiran-pikiran Allah sebagai seorang pemelihara perjanjian yang taat: ia dipercayakan untuk memerintah dan mengusahakan ciptaan Allah lainnya untuk kemuliaan Allah. Kami percaya bahwa seluruh segi kehidupan harus dihayati di bawah perintah Allah sebagai ungkapan ketaatan kepada hukum-hukum Allah.

DOSA
Kami percaya bahwa apa yang telah terjadi dalam diri Adam dan juga adalah wakil umat manusia, mengakibatkan seluruh umat manusia telah jatuh dalam dosa dan maut; mati secara rohani, patut menerima murka adil Allah, tanpa pengharapan dan tanpa pertolongan untuk memperoleh keselamatan, baik dari dirinya sendiri atau dari luar dirinya maupun dari dunia ini.

PERJANJIAN ANUGERAH
Kami percaya bahwa Allah dalam kekekalan telah membuat perjanjian untuk umat pilihan-Nya, dengan Yesus Kristus sebagai Kepala; bahwa melalui ketaatan Yesus Kristus yang sempurna dan kematian-Nya sebagai pengganti manusia di kayu salib, Kristus telah memenuhi tuntutan murka Allah terhadap umat-Nya.

Melalui kuasa kebangkitan Kristus, Allah terus-menerus memanggil dan mengumpulkan umat-Nya dari segala zaman dan segala bangsa untuk menjadi suatu imamat yang rajani dan bangsa yang kudus bagi kemuliaan-Nya.

YESUS KRISTUS
Kami percaya kepada Yesus Kristus, Pribadi kedua Allah Tritunggal, Allah sejati dan manusia sejati, satu-satunya Juruselamat manusia; yang telah dikandung oleh Roh Kudus, lahir dari anak dara Maria; hidup tanpa dosa, disalibkan mati dan bangkit dari kematian, naik ke surga, duduk di sebelah kanan Allah Bapa untuk bersyafaat bagi umat-Nya sebagai Imam Besar, yang berhasil dan penuh pengertian; bahwa Dia akan datang kembali dalam tubuh kemuliaan-Nya, secara kasatmata dan secara tiba-tiba untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati.

ROH KUDUS
Kami percaya kepada Roh Kudus, Pribadi ketiga Allah Tritunggal, Pengilham Ilahi Alkitab, yang menginsyafkan manusia akan dosa mereka melalui Firman-Nya, yang melahirbarukan mereka, sehingga tumbuh iman dan pertobatan kepada Yesus Kristus untuk keselamatan; Dia memperlengkapi orang-orang beriman dengan kuasa untuk menaati hukum-hukum Allah; Dia mengaruniakan kepada Gereja Yesus Kristus karunia-karunia untuk pelayanan orang kudus; Dia bersyafaat bagi orang beriman dengan keluh kesah yang tak terucapkan untuk dan sampai hari pemuliaan umat Allah.

GEREJA DAN MISI
Kami percaya akan satu Gereja yang kudus dan am, yang terdiri dari seluruh umat pilihan Allah dari segala zaman dan yang sebagiannya kini terhisap dalam gereja setempat; gereja setempat harus merupakan ungkapan dari sifat Gereja yang kudus dan am tersebut dengan menjaga kemurnian ajaran sesuai dengan Alkitab, dengan mendahulukan persatuan berdasarkan kebenaran di dalam ikatan kasih antara berbagai gereja setempat dan aliran gereja yang ada, dengan memancarkan kemuliaan Allah melalui ibadah, pengajaran Firman Allah, pelaksanaan baptisan dan perjamuan kudus, persekutuan, pelaksanaan disiplin dalam kasih, pelayanan dan misi, kami percaya bahwa gereja ada di dalam dunia untuk memberitakan Injil Yesus Kristus dan mengungkapkan Ketuhanan Kristus lewat perbuatan-perbuatan nyata. Gereja menjalankan misi Yesus Kristus, yaitu menegakkan pemerintahan Kerajaan Allah atas dunia ini, baik melalui usaha-usaha penginjilan di dunia ini, sampai Kristus datang kembali untuk merampungkan penggenapan Kerajaan-Nya.

IV. Catatan Kritis Penyebab Ketertarikan Warga GKI

Setelah memaparkan beberapa aliran dan ajaran yang memengaruhi warga gereja, termasuk warga GKI, berikut ini saya memberikan sedikit catatan kritis tentang penyebab ketertarikan warga GKI kepada aliran-aliran dan ajaran-ajaran yang sudah dikemukakan tersebut. Menurut hemat saya, ada tiga faktor yang mendorong warga GKI tertarik kepada aliran ajaran itu:

(1) Faktor dari dalam kehidupan gereja, khususnya menyangkut tendensi gereja sebagai institusi yakni terjadinya legalisme atau formalisme. Sebagai institusi, ketertiban atau keteraturan merupakan syarat yang mesti dipenuhi. Proses menata dari situasi ketidakteraturan di dalam institusi dinamai proses formalisasi. Tentunya proses ini mempunyai aspek positif bagi keberlangsungan institusi tersebut. Namun, formalisasi yang beraspek positif bisa menjadi negatif manakala diklaim dan dibenarkan sebagai satu-satunya cara pikir dengan kekuasaan. Jika formalisasi sudah di-back up dengan kekuasaan yang menegasi pola-pola pikir lain dan difanatikkan sebagai satu-satunya kebenaran dengan mengatasnamakan hukum atau aturan, di sanalah formalisasi berubah menjadi formalisme. Dampaknya jelas mempersempit ruang kebebasan dan ekspresi anggota-anggota institusi sehingga memungkinkan mereka yang “terpinggirkan” untuk keluar dari institusi tersebut guna mencari ruang baru yang melegakan mereka.

(2) Faktor pengajaran gereja, khusus menyangkut tendensi rasionalisme dalam pengajaran teologis gereja. Penekanan berlebihan terhadap rasio dalam pengajaran teologis gereja sebenarnya merupakan tindakan yang mereduksi realitas keberagamaan. Kehidupan beragama jelas memuat dimensi kodrati dan dimensi adikodrati (spiritual Ilahi). Rasionalisme tampaknya cenderung mengabaikan dimensi adikodrati. Padahal tanpa dimensi adikodrati ini, agama tidaklah menjadi agama, tetapi perkumpulan sosial. Demikianlah orang yang merasa kehilangan sentuhan dimensi adikodrati dari pengajaran agama (baca: gereja) akan mencari pengajaran lain yang menjawab kebutuhannya akan dimensi adikodrati.

(3) Faktor dari dalam diri warga gereja tersebut, khususnya akibat tendensi konteks zaman yang menyuburkan mentalitas egoisme dan pemuasan diri sendiri (self-satisfaction). Tidak dapat dielakkan, hasil-hasil perkembangan ilmu dan teknologi makin “memanjakan” manusia di dalam langkah-langkah hidupnya. Proses “pemanjaan” ini pada kenyataan lambat laun membentuk mentalitas yang menguatkan subjek “aku” sehingga egoisme dan pemuasan diri sendiri menjadi tidak terelakkan. Kuatnya subjek aku ini tidak hanya dinampakkan untuk urusan profan (dunia) tapi juga urusan spiritual keagamaan. Akibatnya orang pun berani mencari sendiri hal-hal spiritual, sesuai dengan seleranya sendiri demi pemuasan dirinya. Ketika GKI kurang atau bahkan tidak berhasil memuaskan diri orang-orang yang bermentalitas semacam ini, maka GKI akan ditinggalkan oleh orang-orang ini.

V. Penutup: Apa yang dapat GKI Lakukan?
Sebagai penutup tulisan ini, di bawah ini saya mengajukan beberapa usulan yang dapat GKI lakukan di tengah kepelbagaian aliran dan ajaran di sekitarnya. Memang, dalam kesempatan ini saya tidak memberikan uraian apologetis atau pembelaan ajaran-ajaran GKI berhadapan dengan pelbagai aliran dan ajaran tersebut. Apa yang saya usulkan merupakan ‘pekerjaan rumah’ bagi GKI yang mau tidak mau harus dikerjakan, kalau GKI ingin hidup dengan identitasnya di tengah kepelbagaian aliran dan ajaran. Usulan itu adalah sebagai berikut:

  1. Dalam konteks zaman yang sarat dengan perkembangan ilmu dan teknologi, GKI harus “menggarami” konteks zaman, salah satunya melalui bidang pendidikan. Pendidikan yang hendaknya digalakkan GKI adalah “pendidikan untuk kehidupan” (education for life). “Pendidikan untuk kehidupan” ini dirumuskan untuk menjawab kelemahan pendidikan produk modernisme yang cenderung menghilangkan dimensi moral dan spiritual.
  2. GKI seharusnya terus mengembangkan “spiritualitas kristosentris” bagi warga jemaatnya, yakni spiritualitas yang berpusat pada “pekerjaan-pekerjaan” Kristus. Dengan spiritualitas ini, warga GKI pada gilirannya diajak untuk berkonsentrasi dan giat pada pelayanan yang benar (ortopraksis), bukan melulu pada pengajaran yang benar (ortodoksi), demi tegaknya Kerajaan Allah.
  3. Akhirnya GKI hendaknya menjadi gereja yang AKUR, TERATUR, dan LENTUR. Gereja yang “akur” mengandaikan adanya kasih persaudaran. Kasih persaudaraan, itulah yang Kristus, Sang Kepala Gereja, tanamkan bagi jemaat-jemaatNya. Dengan kasih persaudaraan, GKI menata diri sehingga menjadi gereja yang “teratur”. Namun, keteraturan yang diupayakan tidak mematahkan semangat reformasi pada diri GKI. GKI dapat menjadi “organisasi pembelajaran” yang pada gilirannya membuat dirinya “lentur”. Dengan demikian, GKI dapat mempraktikkan semboyan Reformasi ini: “Ecclesia reformata ed semper reformanda!” – “Gereja yang dibarui harus terus-menerus diperbarui!”

[Disampaikan di GKI Indramayu, 10 Maret 2007, oleh HMS]

Catatan Akhir:
[1] Berdasarkan Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di dalam dan di sekitar Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), h. 1.
[2] Eka Darmaputera, “Pengantar,” dalam Hodos, No. 45, Tahun 2004, h. 9-10.
[3] Dale T. Irvin dan Scott W. Sunquist, Kekristenan: Gerakan Universal – Sebuah Ulasan Sejarah dari Kekristenan Bahari sampai tahun 1453 (Maumere: Ledalero, 2005), h. 66.
[4] Irvin dan Sunquist mencontohkan bahwa kemajemukan pemahaman Kristen bahari tampil sangat mencolok dalam berbagai makna utama yang diberikan kepada gelar-gelar yang digunakan untuk menyebut jatidiri Yesus yang bangkit. Gelar-gelar seperti “Anak Allah” dan “Anak Manusia” misalnya, bisa saja mengandung arti yang lain dalam konteks yang berbeda ketika pewartaan Kristen melintasi tapal-tapal batas bahasa dan budaya. Lihat: Irvin dan Sunquist, Ibid., h. 68-dst.
[5] Irvin dan Sunquist, Ibid., h. 67.
[6] Gnostisisme (bahasa Yunani, gnosis berarti pengetahuan) merupakan sistem kepercayaan yang mengandalkan secara penuh pengetahuan khusus atau pencerahan batin tentang Allah yang membebaskan seseorang dari ketidaktahuan dan kejahatan yang merupakan ciri tata ciptaan. Gnostisisme bertentangan dengan pengajaran iman Kristen karena menyangkal: inkarnasi (sebab materi itu jahat), kematian Yesus (sebab keselamatan diperoleh melalui keutumaan gnosis dan bukan melalui karya Kristus di kayu salib), kebangkitan (tak dapat ditolerir gagasan tentang jiwa yang bertubuh, sebab tubuh adalah penjara yang menyengsarakan), panggilan universal (sebab gnosis terbatas hanya pada orang-orang yang memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam), dan etika (sebab yang diutamakan bukan praktik moral tapi praktik ritus-magis). Lihat: Eddy Kristiyanto, Gagasan yang Menjadi Peristiwa: Sketsa Sejarah Gereja Abad I-XV (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h.28-29.
[7] Berdasarkan: Kristiyanto, Ibid., h. 27.
[8] Ibid., h. 157-158.
[9] Ibid., h. 163-166.
[10] Paling tidak, pada masa Konstantinus, dua kontroversi hebat berhasil mencabik tenunan Kristen dalam Gereja Kristen raya di wilayah Romawi, yaitu: kontroversi Donatis dan kontroversi Arianis. Lihat: Irvin dan Sunquist, Op.Cit., h. 249-250.
[11] Lihat: “Ritus-ritus Gereja Katolik Timur,” dalam http://www.gerejakatolik.net/info/ ritusgereja.htm (Diakses 02 Maret 06).
[12] C. de Jonge, Pembimbing ke dalam Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), h. 75-76.
[13] Diambil dari gambar muka buku Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di dalam dan di sekitar Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995).
[14] Tentang Gerakan Pentakostal, Gerakan Kharismatik, lihat: Aritonang, Ibid.; dan tentang Kelompok Bet Yesua Hamasiah, lihat: Herlianto, Siapakah yang Bernama Allah itu? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), dan Anwar Tjen, “Lagi-lagi tentang Padanan Nama Ilahi,” (Bahan Diskusi Konven Pendeta GKI Klasis Jakarta Utara, 17 Januari 2005).
[15] Ajaran kesucian dan kesempurnaan hidup kristiani ditandaskan John Wesley sebagai berikut: pada waktu manusia mengalami kelahiran kembali, ‘kerak-kerak dosa’ masih tetap bersarang di dalam dirinya, dan itulah yang harus terus-menerus diperangi di sepanjang hidupnya, yakni dengan mengupayakan kesucian dan kesempurnaan hidup.
[16] Lihat: French L. Aringgton, “Pendahuluan,” dalam Doktrin Kristen Perspektif Pentakosta, jilid 1 (Jakarta: Departemen Media BPS GBI, 2004).
[17] Secara sederhana, Teologi Sukses menegaskan pandangan sebagai berikut: “Tuhan itu Raya yang kaya dan mulia. Kita adalah anak-anak Raja. Karena itu, kita juga patut menjadi kaya dan mulia seperti Sang Raja.” Lihat: F.X. Didik Bagiyowinadi, Di tengah Berbagai Angin Pengajaran: Menjawab Kontroversi Iman (Malang: Dioma, 2005), h. 88. Uraian lengkap tentang Teologi Sukses, lihat: Herlianto, Teologi Sukses: antara Allah dan Mamon (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993).
[18] Berdasarkan: Herlianto, “Minyak Urapan,” dalam http://www.glorianet.org/ tamanbacaan/herlianto/herlminy.html. (Diakses 02 Maret 2006).
[19] Kedua Alkitab ini pada kenyataannya membajak hampir seluruh Alkitab Terjemahan Baru 1974, terbitan LAI, dan hanya mengganti padanan-padanan yang digunakan untuk YHWH, el, eloah, elohim dalam PL dan theos, kyrios dalam PB. Ini dilakukan tanpa izin atau bahkan pemberitahuan kepada LAI sebagai pemegang copyright TB. Lihat: Anwar Tjen, “Lagi-lagi tentang Padanan Nama Ilahi,” (Bahan Diskusi Konven Pendeta GKI Klasis Jakarta Utara, 17 Januari 2005).
[20] Berdasarkan Herlianto, Siapakah yang Bernama Allah itu? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), h. 3 dst.
[21] Berdasarkan tulisan F.X. Didik Bagiyowinadi, Op.Cit. h. 128-134.
[22] Berdasarkan tulisan-tulisan dari http://grii.org (Diakses 02 Maret 2006).
[23] Sekalipun ditegaskan pengajaran para rasul dalam Alkitab, menurut saya patokan yang diacu oleh Gerakan Reformed Injili sarat dengan penafsiran doktrinal kalangan mereka. Hal ini tidak terelakkan, kecuali pengajaran para rasul dalam Alkitab itu diambil secara harfiah, apa adanya.
[24] Yakub B. Susabda, Pengantar ke dalam Teologi Reformed (Surabaya: LRII, 2001), h. 109-110.
[25] Berdasarkan http://www.griis.org/pengakuan_iman.htm (Diakses 02 Maret 2006).

RUMAH DOA BAGI SEMUA ORANG

Dasar: Yesaya 56:1-8


ORGANISASI dan organisme adalah dua kata yang kedengarannya mirip, tapi jelas berbeda artinya. Kita dapat membedakan pengertian organisasi dan organisme dengan mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengannya.

Organisasi berkaitan dengan suatu tatanan atau keteraturan; oleh karena itu, organisasi dicirikan oleh adanya peraturan, tata tertib, tata laksana, dan juga birokrasi. Organisasi selalu berkesan formal; dan organisasi yang sangat-sangat formal cenderung menjadi kaku dan beku, dan tertutup sifatnya.

Berbeda dengan organisasi, organisme berkaitan dengan makhluk hidup; oleh karena itu, organisme dicirikan oleh adanya pertumbuhan dan hidup. Organisme selalu berkesan dinamis, tidak kaku dan beku.

Nah, yang namanya gereja, kita pandang sebagai organisasi atau organisme? Mana yang paling biasa ada dalam pikiran kita: gereja-organisasi atau gereja-organisme? Sebelum menjawab ini, ada baiknya kita pahami dulu apa itu gereja-organisasi dan apa pula gereja-organisme.

Gereja-organisasi adalah gereja yang menekankan keteraturan di dalam kehidupannya. Gereja seperti ini dipenuhi oleh peraturan-peraturan, tata tertib, tata laksana, dan juga birokrasi. Keputusan menyangkut kehidupan gereja dan anggotanya tidak dengan mudah dapat diambil, harus melalui prosedur terlebih dahulu. Oleh karena itu, rapat menjadi kegiatan rutin yang biasa dilakukan di gereja-organisasi.

Sampai di sini, saya mau bertanya: apakah salah gereja punya peraturan, tata tertib, tata laksana, dan birokrasi? Tentulah tidak. Bagaimana pun, supaya tertib dan tidak kacau, gereja mesti punya peraturan, tata tertib, tata laksana, dan juga birokrasi. Ingat 1Korintus 14:40: “Segala sesuatu harus berlangsung dengan sopan dan teratur.” Peraturan, tata tertib, tata laksana, dan birokrasi, semua itu dibuat untuk menolong umat dalam bergereja.

Namun, kita harus mengakui, peraturan, tata tertib, tata laksana, dan birokrasi, punya kecenderungan sangat-sangat formal dan tidak mustahil sangat-sangat legal. Akibatnya gereja-organisasi menjadi kaku dan beku, dan tertutup sifatnya. Bukankah yang kaku dan beku itu pantas kita sebut sebagai mummi saja?

Dalam sejarah, Mahatma Gandhi pernah mengalami perlakuan gereja-organisasi. Ketika berada di Afrika, Gandhi berniat masuk ke sebuah gereja untuk pertama kali. Namun, seorang anggota gereja menghentikan langkahnya di pintu gereja, dan ia berkata kepada Gandhi, “Menurut aturan gereja kami, Anda tidak boleh masuk ke gereja ini. Di sini hanya untuk warga kulit putih. Kalau Anda ingin beribadah, silahkan di gereja warga kulit hitam di sana.” Mahatma Gandhi pergi dan ia tidak pernah ingin masuk ke gereja lagi. Ia tetap beragama Hindu, sekalipun hidupnya banyak mengamalkan nilai-nilai ajaran Tuhan Yesus.

Jauh sebelum peristiwa Mahatma Gandhi ini, pernah terjadi juga sekelompok orang dilarang ikut beribadah bersama di satu tempat ibadah. Pelarangan ini secara formal dan legal dituliskan dalam bentuk ketetapan-ketetapan. Mari kita baca beberapa ketetapan itu. Pertama, Yehezkiel 44:9: “Oleh sebab itu beginilah firman Tuhan ALLAH: Tidak seorang pun dari orang-orang asing yang hatinya dan dagingnya tidak bersunat, boleh masuk dalam tempat kudus-Ku, ya setiap orang asing yang ada di tengah-tengah orang Israel.” Lalu berikutnya Ulangan 23:1: “Orang yang hancur buah pelirnya atau yang terpotong kemaluannya, janganlah masuk jemaah TUHAN.” Ayat ini jelas berbicara tentang pelarangan untuk ikut beribadah bagi orang-orang asing dan orang-orang kebiri.

Ketetapan pelarangan ikut beribadah seperti yang ditunjukkan tadi tentu dibuat dengan pertimbangan tersendiri. Namun jelas, ketetapan-ketetapan itu telah menjadikan tempat ibadah, rumah TUHAN, sebagai tempat eksklusif, yang kaku dan beku, dan tertutup sifatnya. Jemaat TUHAN pun turut menjadi eksklusif pula. Ibadah mereka, juga eksklusif, bahkan mungkin lebih tepat ibadah mereka dikatakan sebagai “ibadah yang egois”.

Memang, suatu ibadah bisa menjadi ibadah yang egois, yakni apabila ibadah itu menyangkut hubungan antara kita dan TUHAN Allah saja. Ibadah yang egois berurusan hanya soal sorga saja, soal dunia tidak. Oleh karena itu, jemaat di dalamnya akan menutup diri, bertindak eksklusif, kaku dan beku.

Dalam Yesaya 56:1-8 kita membaca bagaimana TUHAN mengajarkan kepada umat-Nya tentang ibadah yang seharusnya. Ibadah yang seharusnya tidaklah hanya menyangkut hubungan antara umat dan TUHAN Allah saja, tetapi juga antara umat dan sesamanya. Dengan perkataan lain, ibadah yang seharusnya tidak melulu berurusan soal sorga, melainkan juga soal dunia, soal manusia. “Taatilah hukum dan tegakkanlah keadilan,” begitu tegas Yesaya.

Perintah “taatilah hukum dan tegakkanlah keadilan,” jelas menyangkut hubungan antara umat dengan TUHAN, dan antara umat dengan sesama. Pada ayat 2c, secara terang dituliskan di sana soal memelihara hari Sabat – ini menyangkut hubungan antara umat dengan TUHAN, dan soal menahan diri dari setiap perbuatan jahat – ini menyangkut hubungan antara umat dengan sesama.

Yang menarik, pada ayat-ayat berikutnya, Yesaya tampak menekankan soal hubungan antara umat dan sesama. Pada ayat ke-3, Yesaya menyinggung soal kelompok orang asing yang tidak boleh lagi berkata: “Sudah tentu TUHAN hendak memisahkan aku daripada umat-Nya.” Dengan perkataan lain, bapak-ibu-sdr-i, sekarang umat TUHAN diajarkan untuk membuka diri terhadap orang-orang asing yang mau ikut beribadah bersama.

Begitu pun Yesaya menyinggung kelompok orang kebiri yang semula diperlakukan tidak adil oleh umat TUHAN. Kelompok orang kebiri ini sekarang mendapat tempat di dalam rumah TUHAN. Dan itu berarti, umat TUHAN harus siap membuka diri bagi mereka.

Apa yang disampaikan TUHAN melalui Yesaya ini sebenarnya adalah ajakan TUHAN agar umat-Nya tidak selalu memandang dan memperlakukan rumah TUHAN sebagai organisasi semata, tetapi juga harus sebagai organisme. Jika umat memandang dan memperlakukan rumah TUHAN sebagai organisasi saja, maka ketidakadilan bisa terjadi di dalam rumah TUHAN. Ketidakadilan berupa tindakan diskriminatif, pilih-kasih, dan menutup diri.

Umat TUHAN mau tidak mau harus belajar memandang dan memperlakukan rumah TUHAN sebagai organisme. Ingat, organisme itu hidup, dinamis, tidak kaku dan beku. Jadi, umat yang memandang dan memperlakukan rumah TUHAN sebagai organisme, pastilah umat yang membuka diri, tidak diskriminatif, tidak pilih-kasih. Umat seperti ini sungguh akan menjadikan rumah TUHAN sebagai “rumah doa bagi segala bangsa”.


Gereja semestinya kita pandang dan perlakukan bukan hanya sebagai organisasi saja, tetapi juga sebagai organisme. Tadi saya sudah menjelaskan apa itu gereja-organisasi. Nah, sekarang apa itu gereja-organisme?

Gereja-organisme adalah gereja yang dicirikan oleh adanya pertumbuhan dan hidup. Gereja seperti ini hadir menjadi berkat – menjadi berkat melalui persekutuan kasih umat-Nya, dan melalui pelayanan penuh kebaikan dan keadilan bagi sesamanya. Gereja-organisme bertumbuh dan hidup seperti kisah Jemaat Mula-mula: “Mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan.” (Kisah Para Rasul 2:47) Gereja seperti ini sungguh akan menjadi “rumah doa bagi segala bangsa”.

GKI Bekasi Timur, kita mau pandang dan perlakukan sebagai apa? Sebagai organisasi? Saya pikir, ya, kita perlu memandang dan memperlakukan gereja ini sebagai organisasi. Kalau tidak demikian, kekacauan akan terjadi di sini. Dalam bergereja, bagaimana pun, kita harus sopan dan teratur. Untuk itu, kita butuh seperangkat aturan, tata gereja, tata tertib, dan birokrasi.

Namun, organisasi bukanlah hakikat dari gereja. Hakikat gereja adalah tubuh Kristus: “Kamu semua adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah anggotanya.” (1Kor 12:27) Itu berarti, gereja adalah organisme: ia dinamis, bertumbuh dan hidup, dan kelak menjadi “rumah doa bagi segala bangsa”.

Anda dan saya turut menentukan masa depan gereja. Untuk mewujudkan gereja sebagai “rumah doa bagi segala bangsa”, baiklah kita mulai dengan kesadaran bahwa ibadah yang kita lakukan tidak hanya menyangkut TUHAN, tetapi juga sesama dan dunia.

Roh Kudus memberi kemampuan kepada kita bersama untuk mewujudkan firman TUHAN ini. Amin.

GKI Bekasi Timur, 30 Januari 05
HMS

SEMANGAT MEMBANGUN RUMAH ALLAH

Dasar: Hagai 1:1-2:10

BEBERAPA waktu yang lalu, seorang Guru Besar Perjanjian Lama STT Jakarta, Bapak Profesor Ihromi, telah pulang ke pangkuan Allah Bapa di sorga. Ketika mempersiapkan renungan ini, tiba-tiba saya teringat akan masa-masa berkuliah Teologi Perjanjian Lama bersama dengan Bapak Ihromi. Saya teringat, suatu kali saya dan kawan-kawan membahas Kitab Hagai di bawah bimbingan Pak Ihromi. Sekalipun Kitab Hagai hanya memuat dua pasal, tapi kandungan pesannya mengundang diskusi yang cukup hebat. Pak Ihromi mencoba mengarahkan kami. Dan suatu waktu beliau berkata, “Pembahasan Kitab Hagai tampaknya selalu menarik.”

Kitab Hagai sebenarnya berisi pesan-pesan Allah yang disampaikan oleh Nabi Hagai kepada orang-orang Israel yang telah kembali dari pembuangan di Babel. Pada tanggal 12 Oktober, dua ribu lima ratus tahun yang lalu, pasukan Koresh dari Persia telah berhasil menundukkan Kerajaan Babel. Karena kebijakan Raja Koresh, orang-orang Israel diizinkan kembali ke tanah air mereka (Ezra 1:1-4). Kebijakan semacam ini tentu disambut baik. Itulah jawaban atas doa-doa mereka selama di pembuangan Babel. Mereka bersukacita, dan segera pulang ke tanah air mereka.

Ketika tiba di Yerusalem, mereka mendapati kota mereka telah hancur. Bait Allah yang dulunya dibangun Raja Salomo secara mewah dan megah, juga telah menjadi puing. Bagaimana pun mereka harus membenahi kehidupan mereka. Mereka harus membangun rumah mereka, usaha mereka, dan tempat ibadah mereka.

Tampaknya orang-orang Israel terlebih dahulu membangun rumah-rumah tinggal. Ini tentu dapat dipahami karena rumah tinggal adalah tempat berteduh keluarga sehari-hari.

Setelah rumah tinggal selesai dibangun, maka giliran usaha atau nafkah mereka dibenahi. Ini juga bisa dimengerti, karena usaha atau nafkah sangat dibutuhkan untuk kelanjutan hidup sehari-hari.

Kehidupan orang-orang Israel lambat laun pulih kembali. Masing-masing orang sudah membenahi kehidupannya. Namun, rupanya orang-orang Israel lupa untuk membangun Bait Suci. Mereka sibuk dengan urusan sendiri-sendiri. Oleh karena itu, TUHAN menyampaikan pesan-Nya melalui Hagai (ayat 4): “Apakah sudah tiba waktunya bagi kamu untuk mendiami rumah-rumahmu yang dipapani dengan baik, sedang Rumah ini tetap menjadi reruntuhan?” TUHAN mengingatkan dan mengajak umat Israel untuk membangun Bait Suci, Rumah-Nya.

Mengapa sih TUHAN berharap agar umat-Nya membangunkan bagi-Nya sebuah Rumah? Apakah Dia sama seperti manusia butuh Rumah? Pertanyaan ini sederhana, tapi untuk menjawabnya kita barangkali perlu merenung terlebih dahulu. Dalam bentuk yang lain, pertanyaan ini bunyinya begini: Mengapa gereja perlu dibangun? Katanya gereja bukan gedungnya, tapi orangnya. Kalau begitu, tidak harus dong membangun gedung gereja?

Kita simpan dulu pertanyaan tentang harus tidaknya membangun gedung gereja. Sekarang kita mau merenungkan pertanyaan paling awal tadi: mengapa TUHAN mengajak umat-Nya untuk membangun Rumah-Nya? Jawabannya ada dua, dan keduanya ini tidak dapat dipisahkan.

Pertama, TUHAN mengajak umat-Nya untuk membangun Rumah-Nya karena Dia menghendaki kebersamaan yang penuh kasih di tengah kehidupan dunia ini. Tanpa Rumah TUHAN, kehidupan umat akan berjalan sendiri-sendiri. Masing-masing orang sibuk dengan urusan rumahnya sendiri; sibuk dengan kepentingannya sendiri. Tak ada ikatan persaudaraan di antara mereka. Tanpa Rumah TUHAN, maka masyarakat yang tercipta adalah masyarakat yang terpecah-pecah; karena di dalamnya orang-orang berlaku egois!

Jadi, dalam hal ini, kita dapat mengartikan Rumah TUHAN sebagai ‘rumah keluarga TUHAN’, di mana masing-masing orang yang berhimpun di dalamnya adalah anggota-anggota keluarga TUHAN. Karena itu, ciri utama Rumah TUHAN adalah kasih persaudaraan. Di mana anggota keluarga TUHAN bertemu dalam kasih, di situlah TUHAN akan hadir. Ada sebuah kisah yang dapat menjelaskan hal ini.

Dua pria bersaudara bekerja bersama-sama di ladang milik keluarga. Salah seorang di antara mereka tidak menikah, dan yang satunya lagi menikah dan memiliki beberapa anak. Kedua saudara itu membagi hasil ladang dan keuntungan secara sama rata. Tapi suatu hari, pria yang tidak menikah berkata kepada dirinya sendiri, “Tidak benar kalau hasil ladang dibagi sama rata. Demikian juga dengan keuntungannya. Bukankah aku masih bujangan dan kebutuhanku tidak banyak? Saudaraku punya istri dan anak-anak. Ah, mestinya saudaraku mendapat bagian lebih besar dari aku.” Lantas, pada tengah malam hari, pria yang tidak menikah itu membawa sekarung gandum ke lumbung saudaranya. Diam-diam dia memasukkan gandum itu ke lumbung saudaranya.

Sementara itu, saudaranya yang sudah berkeluarga diam-diam memiliki pikiran yang sama. Dia berkata kepada dirinya sendiri, “Rasanya tidak benar kalau hasil ladang dan keuntungannya dibagi sama rata. Bukankah aku sudah menikah dan memiliki isteri yang merawatku dan anak-anak yang menghiburku? Saudaraku hidup sendiri, pasti dia punya banyak kebutuhan dan penghiburan. Ah, aku harus membagi hasil ladang dan keuntungannya ini lebih lagi untuk dia.” Maka, pada waktu subuh, pria yang sudah berkeluarga ini memasukkan sekarung gandum miliknya ke lumbung saudaranya.

Demikianlah kedua pria itu saling membagi hasil ladang dan keuntungannya tanpa sepengetahuan mereka masing-masing. Selama bertahun-tahun hal itu dilakukan mereka. Mereka sebenarnya merasa bingung karena lumbung mereka tidak pernah berkurang. Sampai pada suatu malam, mereka berdua secara kebetulan saling menuju ke lumbung gandum saudaranya pada waktu bersamaan. Lorong menuju masing-masing lumbung rupanya gelap. Di tengah kegelapan itu mereka saling bertabrakan dengan masing-masing membawa satu karung berisi gandum. Keduanya terkejut, tapi kemudian mereka baru menyadari apa yang terjadi. Mereka meletakkan karung gandum mereka dan saling berpelukan.
Tiba-tiba langit yang gelap menjadi terang, dan sebuah suara dari surga terdengar, “Di sinilah akhirnya Aku akan membangun rumah-Ku. Karena di mana saudara saling bertemu dalam kasih, di situlah Aku akan hadir.”

TUHAN mengajak kita orang-orang Kristen untuk membangun rumah TUHAN atau gereja, karena Dia menghendaki agar kita hidup dalam kebersamaan yang penuh kasih. TUHAN tahu, kecenderungan hidup kita adalah sibuk dengan urusan sendiri-sendiri; berlaku egois atau mementingkan diri sendiri. Padahal sikap egois atau mementingkan diri sendiri, dapat menyebabkan ketidakpuasan dan ketidakdamaian. Hagai 1:5-6 menggambarkan hal itu: “Oleh sebab itu, beginilah firman TUHAN semesta alam: Perhatikanlah keadaanmu! Kamu menabur banyak, tetapi membawa pulang hasil sedikit; kamu makan, tetapi tidak sampai kenyang; kamu minum, tetapi tidak sampai puas; kamu berpakaian, tetapi badanmu tidak sampai panas; dan orang yang bekerja untuk upah, ia bekerja untuk upah yang ditaruh dalam pundi-pundi yang berlobang!”

Kalau kita hidup secara egois, sibuk dengan urusan dan kepentingan diri sendiri, maka tentu kehidupan kita akan mengalami kehancuran. Karena itu, kita butuh wadah kebersamaan yang penuh kasih persaudaraan. Wadah itu tidak lain adalah Rumah TUHAN atau gereja. Gereja dibangun karena TUHAN mau menjadikannya sebagai rumah keluarga-Nya, tempat di mana anak-anak-Nya dapat hidup dalam kebersamaan penuh kasih persaudaraan.

Nah, kalau gereja tidak menampakkan kasih persaudaraan di dalamnya, maka sebenarnya itu tidak dapat lagi disebut gereja, tetapi tempat hiburan. Rumah TUHAN atau gereja pada hakikatnya dicirikan oleh kasih persaudaraan, sebab Tuhan Yesus yang menjadi batu penjurunya. Ini suatu peringatan bagi kita semua, sekaligus menjadi tantangan. Kiranya kita tidak hanya bersemangat dalam membangun gereja dalam pengertian fisiknya, tetapi juga bersemangat untuk meningkatkan kasih persaudaraan di antara kita. Sesungguhnya sekalipun gedung gereja sudah berdiri mewah dan megah, tapi tanpa kasih persaudaraan di dalamnya, gereja itu hanya reruntuhan belaka!

Yang kedua, mengapa TUHAN mengajak umat-Nya membangun Rumah-Nya? Jawabannya adalah karena TUHAN mau menyatakan kehadiran-Nya bagi umat-Nya dan bagi segala bangsa. Dengan dibangunnya Rumah TUHAN, “Roh-Ku tetap tinggal di tengah-tengahmu,” begitu tulis Hagai 2:6. Lalu Roh TUHAN pun menyampaikan berita: “Jangan takut!” Inilah berita damai sejahtera, shalom dari Allah. Dengan demikian, Rumah TUHAN selalu dicirikan oleh misinya, yakni menyatakan shalom Allah bagi umat-Nya dan dunia. Itulah sebabnya, segala kegiatan Rumah TUHAN harus selalu menunjukkan misinya.

Bagaimana dengan gereja? Gereja dibangun karena TUHAN mau menyatakan kehadiran-Nya bagi orang-orang Kristen dan bagi segala bangsa. Oleh karena itu, pertanyaan yang penting yang dapat diajukan adalah: apakah kita sebagai warga gereja sungguh-sungguh merasakan kehadiran TUHAN di tengah-tengah kegiatan gereja kita? Apakah kita mengalami shalom Allah dengan segala kegiatan gereja kita? Bagaimana dengan masyarakat di sekitar gereja kita? Apakah mereka merasakan kehadiran Roh Allah melalui kegiatan-kegiatan gereja kita? Apakah mereka mengalami damai sejahtera dengan kehadiran gereja? Saya pikir, kalau mereka merasakan kehadiran Roh Allah melalui kegiatan gereja dan mengalami damai sejahtera dengan kehadiran gereja, maka tidak mungkin terjadi penutupan gereja. Kalaupun terjadi, maka itu betul-betul tindakan anti-Kris, anti-shalom, anti-Allah!

Pembangunan fisik GKI Samanhudi memang tidak lama lagi selesai. Kita bersyukur karena dana pembangunan pun sudah mencukupi. Marilah kita lanjutkan pembangunan ini dengan meningkatkan kualitas kehadiran kita sebagai gereja. Kita jadikan gereja ini sebagai rumah keluarga TUHAN dan rumah misi TUHAN, sehingga kemegahannya menjadi penuh, karena Roh TUHAN hadir di tengah-tengah kita. Amin.

GKI Samanhudi, 09 Oktober 2005
HMS

SUKACITA DALAM MEMBANGUN DAN MEMPERLENGKAPI RUMAH TUHAN

Dasar: 1Raja-raja 8:1-13

BEBERAPA hari yang lalu, saya bermimpi tentang GKI Samanhudi. Tepatnya, tentang bangunan GKI Samanhudi yang lama. Dalam mimpi saya itu, saya masuk ke halaman gereja dan saya mendapati pohon-pohon sedang menggugurkan daun-daunnya. Pada waktu menyaksikan itu, saya merasa, seolah-olah pohon-pohon itu sedang berpamitan, menyampaikan perpisahan yang terakhir. Ketika saya tengok salah satu pohon yang tampak sangat sedih, tiba-tiba dari atas langit, menetes air dingin jatuh mengenai muka saya. Saya terkejut. Sangat terkejut. Sampai-sampai saya terbangun dari tidur. Ternyata cuma mimpi. Tapi muka saya memang benar-benar kena tetesan air dingin, air dingin dari AC kamar yang tepat di atas kepala.

Mimpi saya tentang bangunan GKI Samanhudi yang lama, barangkali dipicu karena sebelumnya saya merasa takjub dengan bangunan GKI Samanhudi yang baru. Takjub, karena tidak terasa proses pembangunannya sudah menghasilkan bangunan yang megah. Saya jadi teringat dengan apa yang pernah dikatakan Pdt. Simon Stevi pada Malam Seri Pentakosta 2007: “GKI Samanhudi sekarang benar-benar tampil ke muka. Sebelumnya bersembunyi di balik pohon-pohon, sehingga orang belum tentu tahu, ini adalah gereja. Nah, sekarang bener-bener nongol, dan orang pasti tahu, ini adalah gereja.”

Kalau proses pembangunan gereja dapat berlangsung sampai sekarang ini, maka kita patut bersyukur kepada Allah oleh karena berkat-Nya. Seperti janji firman-Nya, “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia.” Allah turut bekerja dalam proses pembangunan gereja kita. Dialah yang memberi kekuatan dan kesabaran bagi Panitia Pembangunan. Dialah juga yang menggerakkan semua kita untuk ikut ambil bagian.

Satu hal yang patut kita syukuri juga, proses pembelian lahan sebelah gereja sudah berlangsung dengan baik. Sebagaimana kita ketahui, untuk pengembangan sarana GKI Samanhudi, dengan iman, kita membeli lahan sebelah gereja. Belum lama proses pengosongan lahan dilakukan. Kita bersyukur semua itu terlaksana dengan damai. Selanjutnya secara bertahap, kita akan benahi lahan sebelah gereja kita, sehingga pengembangan GKI Samanhudi ini benar-benar menjadi nyata.

Kita tentu rindu dengan pembangunan dan pengembangan gereja, kemuliaan TUHAN sungguh-sungguh kita rasakan. Kita membangun dan mengembangkan gereja tentu untuk kemuliaan TUHAN. Bukan untuk kemuliaan Majelis Jemaat, para penatua, Panitia Pembangunan, atau warga GKI Samanhudi. Tapi kita rindu, semua ini untuk kemuliaan TUHAN!

Kerinduan untuk kemuliaan TUHAN, itulah juga yang melatarbelakangi raja Salomo dan bangsa Israel melakukan pembangunan rumah TUHAN atau bait suci di Yerusalem. Salomo dan semua orang Israel rindu: kemuliaan TUHAN hadir dan dapat dirasakan melalui pembangunan bait suci. Pada akhirnya kerinduan mereka terpenuhi manakala bait suci selesai dibangun dan ditahbiskan. 1Raja-raja 8:1-13 mengisahkan upacara penahbisan atau peresmian rumah TUHAN itu. Kalau pada zaman sekarang, peresmian biasanya dilakukan dengan pengguntingan pita. Nah, pada zaman raja Salomo, peresmian dilakukan dengan cara arak-arakan barang-barang kudus rumah TUHAN, seperti: tabut TUHAN yang berisi dua loh batu Musa, dan Kemah Pertemuan (ayat 4: “Mereka mengangkut tabut TUHAN dan Kemah Pertemuan dan segala barang kudus yang ada dalam kemah itu; semua itu diangkut oleh imam-imam dan orang-orang Lewi.”). Selain arak-arakan, yang menjadi bagian acara peresmian bait suci adalah berupa pemberian persembahan korban yang lebih dari biasanya (ayat 5: “Tetapi raja Salomo dan segenap umat Israel yang sudah berkumpul di hadapannya, berdiri bersama-sama dengan dia di depan tabut itu, dan mempersembahkan kambing domba dan lembu sapi yang tidak terhitung dan tidak terbilang banyaknya.”). Setelah semua itu dilakukan, maka kemuliaan TUHAN memenuhi bait suci (ayat 10-11: “Ketika imam-imam keluar dari tempat kudus, datanglah awan memenuhi rumah TUHAN, sehingga imam-imam tidak tahan berdiri untuk menyelenggarakan kebaktian oleh karena awan itu, sebab kemuliaan TUHAN memenuhi rumah TUHAN.”) Jadi jelas, kerinduan raja Salomo dan semua orang Israel terpenuhi. Pada akhirnya, kemuliaan TUHAN hadir memenuhi rumah TUHAN.

Namun, kalau kita perhatikan firman TUHAN kepada Salomo pada saat proses pembangunan itu berlangsung, maka kita akan tahu bahwa kemuliaan TUHAN hadir tidak hanya karena pembangunan bait suci, tapi lebih karena sikap hidup umat-Nya. Mari kita baca 1Raja-raja 6:11-13: “Kemudian datanglah firman TUHAN kepada Salomo demikian: Mengenai rumah TUHAN yang sedang kaudirikan ini, jika engkau hidup menurut segala ketetapan-Ku dan melakukan segala peraturan-Ku dan tetap mengikuti segala perintah-Ku dan tidak menyimpang dari padanya, maka Aku akan menepati janji-Ku kepadamu yang telah Kufirmankan kepada Daud, ayahmu, yakni bahwa Aku akan diam di tengah-tengah orang Israel dan tidak hendak meninggalkan umat-Ku Israel.” Jelas firman TUHAN ini menegaskan pentingnya sikap hidup umat, selain pembangunan rumah TUHAN, kalau ingin kemuliaan TUHAN tetap nyata dan dirasakan. Oleh karena itu, seiring pembangunan dan pengembangan fisik gereja, gereja seharusnya juga melakukan pembangunan dan pengembangan warga jemaat. Bukan hanya gedung atau sarana fisik yang dibangun dan dikembangkan gereja, tapi juga sikap hidup warga gereja di tengah arus zaman sekarang ini patut menjadi perhatian gereja. Untuk apa gedung dan sarana fisik gereja lengkap, kalau sikap hidup umatnya tidak berkenan di hadapan TUHAN?

Mark Shaw, seorang misionaris Africa Inland Mission, menceritakan, pada tahun 1990an, di pinggiran kota Washington, terdapat dua bangunan yang berdiri berdampingan. Bangunan yang satu adalah sebuah gereja lokal modern, lengkap dengan puncak menaranya yang bertaburkan cahaya, halaman rumputnya terawat rapi, serta para anggota jemaatnya kaya raya. Sementara bangunan yang satu lagi adalah gedung bekas kantor pemadam kebakaran yang kemudian diubah menjadi sebuah tempat berteduh bagi kaum tunawisma. Para tunawisma ini mendapat pelayanan dari sebuah gereja lain, bukan dari gereja lokal sebelahnya. Gereja lokal yang mapan tadi malah sama sekali tidak mau kalau di gedung bekas kantor pemadam kebakaran itu berlangsung kegiatan. Gereja lokal menolak karena orang-orang di samping gereja mereka itu tidak jelas asal-usulnya.

Pada hari Minggu, kata Mark Shaw, di gereja lokal kita akan menjumpai wajah-wajah yang berhiaskan senyum, saling beramah-tamah, dan dengan tertib mendengarkan khotbah. Sementara di gedung bekas kantor pemadam kebakaran, kita akan menemukan sejumlah orang yang baru bercukur duduk membentuk lingkaran dan sedang melakukan Pendalaman Alkitab yang membahas kehidupan baru di dalam Kristus. Menurut penilaian Mark Shaw, gereja lokal sebenarnya sedang berupaya memenuhi kebutuhan sosial anggota gerejanya, sedangkan gedung bekas kantor pemadam kebakaran sedang berupaya mengubah kehidupan anggotanya. Gereja lokal berfungsi sebagai tempat beraktivitas belaka, sedangkan gedung bekas kantor pemadam kebakaran menjadi gerbang hidup yang baru. Gereja lokal menawarkan kekristenan sekuler yang dikemas dalam sebuah gedung yang tampak religius. Sebaliknya gedung bekas kantor pemadam kebakaran menawarkan kekristenan sejati yang diselenggarakan dalam sebuah gedung yang tampak sekuler.

Cerita Mark Shaw tadi sebenarnya mau menyatakan dua tipe pembangunan gereja. Tipe yang pertama, yakni gereja lokal, melakukan pembangunan fisik. Yang satu lagi, gereja di gedung bekas kantor pemadam kebakaran, melakukan pembangunan warga jemaatnya. Alangkah indahnya kalau kedua tipe kita lakukan: pembangunan sarana fisik dan juga pembangunan warga jemaatnya. Itulah yang diharapkan TUHAN kepada Salomo dan juga kepada kita.

Namun, siapa yang melaksanakan proses pembangunan gereja seperti itu? Jawabannya adalah kita semua. Efesus 4:11-12 menuliskan: “Dan Ialah yang memberikan baik rasul-rasul maupun nabi-nabi, baik pemberita-pemberita Injil maupun gembala-gembala dan pengajar-pengajar, untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus.” Kita semua, saya dan Anda, mempunyai peranan yang berarti bagi pembangunan dan pengembangan gereja ini. Jangan cuma menonton. Mari kita mainkan peranan kita masing-masing dalam pembangunan tubuh Kristus ini. Kalau itu terjadi, maka orang di sekitar kita akan merasakan, ini baru bener-bener gereja. Nongol secara fisik, nongol juga melalui sikap hidup warga jemaatnya. Demikianlah gereja menjadi berkat bagi kehidupan sekitarnya. Jika ini semua kita wujudkan, maka kemuliaan TUHAN akan memenuhi rumah TUHAN dan kehidupan kita, sampai selama-lamanya. Amin.

GKI Samanhudi, 07 Agustus 05
HMS