Dasar: Yesaya 56:1-8
ORGANISASI dan organisme adalah dua kata yang kedengarannya mirip, tapi jelas berbeda artinya. Kita dapat membedakan pengertian organisasi dan organisme dengan mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengannya.
Organisasi berkaitan dengan suatu tatanan atau keteraturan; oleh karena itu, organisasi dicirikan oleh adanya peraturan, tata tertib, tata laksana, dan juga birokrasi. Organisasi selalu berkesan formal; dan organisasi yang sangat-sangat formal cenderung menjadi kaku dan beku, dan tertutup sifatnya.
Berbeda dengan organisasi, organisme berkaitan dengan makhluk hidup; oleh karena itu, organisme dicirikan oleh adanya pertumbuhan dan hidup. Organisme selalu berkesan dinamis, tidak kaku dan beku.
Nah, yang namanya gereja, kita pandang sebagai organisasi atau organisme? Mana yang paling biasa ada dalam pikiran kita: gereja-organisasi atau gereja-organisme? Sebelum menjawab ini, ada baiknya kita pahami dulu apa itu gereja-organisasi dan apa pula gereja-organisme.
Gereja-organisasi adalah gereja yang menekankan keteraturan di dalam kehidupannya. Gereja seperti ini dipenuhi oleh peraturan-peraturan, tata tertib, tata laksana, dan juga birokrasi. Keputusan menyangkut kehidupan gereja dan anggotanya tidak dengan mudah dapat diambil, harus melalui prosedur terlebih dahulu. Oleh karena itu, rapat menjadi kegiatan rutin yang biasa dilakukan di gereja-organisasi.
Sampai di sini, saya mau bertanya: apakah salah gereja punya peraturan, tata tertib, tata laksana, dan birokrasi? Tentulah tidak. Bagaimana pun, supaya tertib dan tidak kacau, gereja mesti punya peraturan, tata tertib, tata laksana, dan juga birokrasi. Ingat 1Korintus 14:40: “Segala sesuatu harus berlangsung dengan sopan dan teratur.” Peraturan, tata tertib, tata laksana, dan birokrasi, semua itu dibuat untuk menolong umat dalam bergereja.
Namun, kita harus mengakui, peraturan, tata tertib, tata laksana, dan birokrasi, punya kecenderungan sangat-sangat formal dan tidak mustahil sangat-sangat legal. Akibatnya gereja-organisasi menjadi kaku dan beku, dan tertutup sifatnya. Bukankah yang kaku dan beku itu pantas kita sebut sebagai mummi saja?
Dalam sejarah, Mahatma Gandhi pernah mengalami perlakuan gereja-organisasi. Ketika berada di Afrika, Gandhi berniat masuk ke sebuah gereja untuk pertama kali. Namun, seorang anggota gereja menghentikan langkahnya di pintu gereja, dan ia berkata kepada Gandhi, “Menurut aturan gereja kami, Anda tidak boleh masuk ke gereja ini. Di sini hanya untuk warga kulit putih. Kalau Anda ingin beribadah, silahkan di gereja warga kulit hitam di sana.” Mahatma Gandhi pergi dan ia tidak pernah ingin masuk ke gereja lagi. Ia tetap beragama Hindu, sekalipun hidupnya banyak mengamalkan nilai-nilai ajaran Tuhan Yesus.
Jauh sebelum peristiwa Mahatma Gandhi ini, pernah terjadi juga sekelompok orang dilarang ikut beribadah bersama di satu tempat ibadah. Pelarangan ini secara formal dan legal dituliskan dalam bentuk ketetapan-ketetapan. Mari kita baca beberapa ketetapan itu. Pertama, Yehezkiel 44:9: “Oleh sebab itu beginilah firman Tuhan ALLAH: Tidak seorang pun dari orang-orang asing yang hatinya dan dagingnya tidak bersunat, boleh masuk dalam tempat kudus-Ku, ya setiap orang asing yang ada di tengah-tengah orang Israel.” Lalu berikutnya Ulangan 23:1: “Orang yang hancur buah pelirnya atau yang terpotong kemaluannya, janganlah masuk jemaah TUHAN.” Ayat ini jelas berbicara tentang pelarangan untuk ikut beribadah bagi orang-orang asing dan orang-orang kebiri.
Ketetapan pelarangan ikut beribadah seperti yang ditunjukkan tadi tentu dibuat dengan pertimbangan tersendiri. Namun jelas, ketetapan-ketetapan itu telah menjadikan tempat ibadah, rumah TUHAN, sebagai tempat eksklusif, yang kaku dan beku, dan tertutup sifatnya. Jemaat TUHAN pun turut menjadi eksklusif pula. Ibadah mereka, juga eksklusif, bahkan mungkin lebih tepat ibadah mereka dikatakan sebagai “ibadah yang egois”.
Memang, suatu ibadah bisa menjadi ibadah yang egois, yakni apabila ibadah itu menyangkut hubungan antara kita dan TUHAN Allah saja. Ibadah yang egois berurusan hanya soal sorga saja, soal dunia tidak. Oleh karena itu, jemaat di dalamnya akan menutup diri, bertindak eksklusif, kaku dan beku.
Dalam Yesaya 56:1-8 kita membaca bagaimana TUHAN mengajarkan kepada umat-Nya tentang ibadah yang seharusnya. Ibadah yang seharusnya tidaklah hanya menyangkut hubungan antara umat dan TUHAN Allah saja, tetapi juga antara umat dan sesamanya. Dengan perkataan lain, ibadah yang seharusnya tidak melulu berurusan soal sorga, melainkan juga soal dunia, soal manusia. “Taatilah hukum dan tegakkanlah keadilan,” begitu tegas Yesaya.
Perintah “taatilah hukum dan tegakkanlah keadilan,” jelas menyangkut hubungan antara umat dengan TUHAN, dan antara umat dengan sesama. Pada ayat 2c, secara terang dituliskan di sana soal memelihara hari Sabat – ini menyangkut hubungan antara umat dengan TUHAN, dan soal menahan diri dari setiap perbuatan jahat – ini menyangkut hubungan antara umat dengan sesama.
Yang menarik, pada ayat-ayat berikutnya, Yesaya tampak menekankan soal hubungan antara umat dan sesama. Pada ayat ke-3, Yesaya menyinggung soal kelompok orang asing yang tidak boleh lagi berkata: “Sudah tentu TUHAN hendak memisahkan aku daripada umat-Nya.” Dengan perkataan lain, bapak-ibu-sdr-i, sekarang umat TUHAN diajarkan untuk membuka diri terhadap orang-orang asing yang mau ikut beribadah bersama.
Begitu pun Yesaya menyinggung kelompok orang kebiri yang semula diperlakukan tidak adil oleh umat TUHAN. Kelompok orang kebiri ini sekarang mendapat tempat di dalam rumah TUHAN. Dan itu berarti, umat TUHAN harus siap membuka diri bagi mereka.
Apa yang disampaikan TUHAN melalui Yesaya ini sebenarnya adalah ajakan TUHAN agar umat-Nya tidak selalu memandang dan memperlakukan rumah TUHAN sebagai organisasi semata, tetapi juga harus sebagai organisme. Jika umat memandang dan memperlakukan rumah TUHAN sebagai organisasi saja, maka ketidakadilan bisa terjadi di dalam rumah TUHAN. Ketidakadilan berupa tindakan diskriminatif, pilih-kasih, dan menutup diri.
Umat TUHAN mau tidak mau harus belajar memandang dan memperlakukan rumah TUHAN sebagai organisme. Ingat, organisme itu hidup, dinamis, tidak kaku dan beku. Jadi, umat yang memandang dan memperlakukan rumah TUHAN sebagai organisme, pastilah umat yang membuka diri, tidak diskriminatif, tidak pilih-kasih. Umat seperti ini sungguh akan menjadikan rumah TUHAN sebagai “rumah doa bagi segala bangsa”.
Gereja semestinya kita pandang dan perlakukan bukan hanya sebagai organisasi saja, tetapi juga sebagai organisme. Tadi saya sudah menjelaskan apa itu gereja-organisasi. Nah, sekarang apa itu gereja-organisme?
Gereja-organisme adalah gereja yang dicirikan oleh adanya pertumbuhan dan hidup. Gereja seperti ini hadir menjadi berkat – menjadi berkat melalui persekutuan kasih umat-Nya, dan melalui pelayanan penuh kebaikan dan keadilan bagi sesamanya. Gereja-organisme bertumbuh dan hidup seperti kisah Jemaat Mula-mula: “Mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan.” (Kisah Para Rasul 2:47) Gereja seperti ini sungguh akan menjadi “rumah doa bagi segala bangsa”.
GKI Bekasi Timur, kita mau pandang dan perlakukan sebagai apa? Sebagai organisasi? Saya pikir, ya, kita perlu memandang dan memperlakukan gereja ini sebagai organisasi. Kalau tidak demikian, kekacauan akan terjadi di sini. Dalam bergereja, bagaimana pun, kita harus sopan dan teratur. Untuk itu, kita butuh seperangkat aturan, tata gereja, tata tertib, dan birokrasi.
Namun, organisasi bukanlah hakikat dari gereja. Hakikat gereja adalah tubuh Kristus: “Kamu semua adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah anggotanya.” (1Kor 12:27) Itu berarti, gereja adalah organisme: ia dinamis, bertumbuh dan hidup, dan kelak menjadi “rumah doa bagi segala bangsa”.
Anda dan saya turut menentukan masa depan gereja. Untuk mewujudkan gereja sebagai “rumah doa bagi segala bangsa”, baiklah kita mulai dengan kesadaran bahwa ibadah yang kita lakukan tidak hanya menyangkut TUHAN, tetapi juga sesama dan dunia.
Roh Kudus memberi kemampuan kepada kita bersama untuk mewujudkan firman TUHAN ini. Amin.
ORGANISASI dan organisme adalah dua kata yang kedengarannya mirip, tapi jelas berbeda artinya. Kita dapat membedakan pengertian organisasi dan organisme dengan mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengannya.
Organisasi berkaitan dengan suatu tatanan atau keteraturan; oleh karena itu, organisasi dicirikan oleh adanya peraturan, tata tertib, tata laksana, dan juga birokrasi. Organisasi selalu berkesan formal; dan organisasi yang sangat-sangat formal cenderung menjadi kaku dan beku, dan tertutup sifatnya.
Berbeda dengan organisasi, organisme berkaitan dengan makhluk hidup; oleh karena itu, organisme dicirikan oleh adanya pertumbuhan dan hidup. Organisme selalu berkesan dinamis, tidak kaku dan beku.
Nah, yang namanya gereja, kita pandang sebagai organisasi atau organisme? Mana yang paling biasa ada dalam pikiran kita: gereja-organisasi atau gereja-organisme? Sebelum menjawab ini, ada baiknya kita pahami dulu apa itu gereja-organisasi dan apa pula gereja-organisme.
Gereja-organisasi adalah gereja yang menekankan keteraturan di dalam kehidupannya. Gereja seperti ini dipenuhi oleh peraturan-peraturan, tata tertib, tata laksana, dan juga birokrasi. Keputusan menyangkut kehidupan gereja dan anggotanya tidak dengan mudah dapat diambil, harus melalui prosedur terlebih dahulu. Oleh karena itu, rapat menjadi kegiatan rutin yang biasa dilakukan di gereja-organisasi.
Sampai di sini, saya mau bertanya: apakah salah gereja punya peraturan, tata tertib, tata laksana, dan birokrasi? Tentulah tidak. Bagaimana pun, supaya tertib dan tidak kacau, gereja mesti punya peraturan, tata tertib, tata laksana, dan juga birokrasi. Ingat 1Korintus 14:40: “Segala sesuatu harus berlangsung dengan sopan dan teratur.” Peraturan, tata tertib, tata laksana, dan birokrasi, semua itu dibuat untuk menolong umat dalam bergereja.
Namun, kita harus mengakui, peraturan, tata tertib, tata laksana, dan birokrasi, punya kecenderungan sangat-sangat formal dan tidak mustahil sangat-sangat legal. Akibatnya gereja-organisasi menjadi kaku dan beku, dan tertutup sifatnya. Bukankah yang kaku dan beku itu pantas kita sebut sebagai mummi saja?
Dalam sejarah, Mahatma Gandhi pernah mengalami perlakuan gereja-organisasi. Ketika berada di Afrika, Gandhi berniat masuk ke sebuah gereja untuk pertama kali. Namun, seorang anggota gereja menghentikan langkahnya di pintu gereja, dan ia berkata kepada Gandhi, “Menurut aturan gereja kami, Anda tidak boleh masuk ke gereja ini. Di sini hanya untuk warga kulit putih. Kalau Anda ingin beribadah, silahkan di gereja warga kulit hitam di sana.” Mahatma Gandhi pergi dan ia tidak pernah ingin masuk ke gereja lagi. Ia tetap beragama Hindu, sekalipun hidupnya banyak mengamalkan nilai-nilai ajaran Tuhan Yesus.
Jauh sebelum peristiwa Mahatma Gandhi ini, pernah terjadi juga sekelompok orang dilarang ikut beribadah bersama di satu tempat ibadah. Pelarangan ini secara formal dan legal dituliskan dalam bentuk ketetapan-ketetapan. Mari kita baca beberapa ketetapan itu. Pertama, Yehezkiel 44:9: “Oleh sebab itu beginilah firman Tuhan ALLAH: Tidak seorang pun dari orang-orang asing yang hatinya dan dagingnya tidak bersunat, boleh masuk dalam tempat kudus-Ku, ya setiap orang asing yang ada di tengah-tengah orang Israel.” Lalu berikutnya Ulangan 23:1: “Orang yang hancur buah pelirnya atau yang terpotong kemaluannya, janganlah masuk jemaah TUHAN.” Ayat ini jelas berbicara tentang pelarangan untuk ikut beribadah bagi orang-orang asing dan orang-orang kebiri.
Ketetapan pelarangan ikut beribadah seperti yang ditunjukkan tadi tentu dibuat dengan pertimbangan tersendiri. Namun jelas, ketetapan-ketetapan itu telah menjadikan tempat ibadah, rumah TUHAN, sebagai tempat eksklusif, yang kaku dan beku, dan tertutup sifatnya. Jemaat TUHAN pun turut menjadi eksklusif pula. Ibadah mereka, juga eksklusif, bahkan mungkin lebih tepat ibadah mereka dikatakan sebagai “ibadah yang egois”.
Memang, suatu ibadah bisa menjadi ibadah yang egois, yakni apabila ibadah itu menyangkut hubungan antara kita dan TUHAN Allah saja. Ibadah yang egois berurusan hanya soal sorga saja, soal dunia tidak. Oleh karena itu, jemaat di dalamnya akan menutup diri, bertindak eksklusif, kaku dan beku.
Dalam Yesaya 56:1-8 kita membaca bagaimana TUHAN mengajarkan kepada umat-Nya tentang ibadah yang seharusnya. Ibadah yang seharusnya tidaklah hanya menyangkut hubungan antara umat dan TUHAN Allah saja, tetapi juga antara umat dan sesamanya. Dengan perkataan lain, ibadah yang seharusnya tidak melulu berurusan soal sorga, melainkan juga soal dunia, soal manusia. “Taatilah hukum dan tegakkanlah keadilan,” begitu tegas Yesaya.
Perintah “taatilah hukum dan tegakkanlah keadilan,” jelas menyangkut hubungan antara umat dengan TUHAN, dan antara umat dengan sesama. Pada ayat 2c, secara terang dituliskan di sana soal memelihara hari Sabat – ini menyangkut hubungan antara umat dengan TUHAN, dan soal menahan diri dari setiap perbuatan jahat – ini menyangkut hubungan antara umat dengan sesama.
Yang menarik, pada ayat-ayat berikutnya, Yesaya tampak menekankan soal hubungan antara umat dan sesama. Pada ayat ke-3, Yesaya menyinggung soal kelompok orang asing yang tidak boleh lagi berkata: “Sudah tentu TUHAN hendak memisahkan aku daripada umat-Nya.” Dengan perkataan lain, bapak-ibu-sdr-i, sekarang umat TUHAN diajarkan untuk membuka diri terhadap orang-orang asing yang mau ikut beribadah bersama.
Begitu pun Yesaya menyinggung kelompok orang kebiri yang semula diperlakukan tidak adil oleh umat TUHAN. Kelompok orang kebiri ini sekarang mendapat tempat di dalam rumah TUHAN. Dan itu berarti, umat TUHAN harus siap membuka diri bagi mereka.
Apa yang disampaikan TUHAN melalui Yesaya ini sebenarnya adalah ajakan TUHAN agar umat-Nya tidak selalu memandang dan memperlakukan rumah TUHAN sebagai organisasi semata, tetapi juga harus sebagai organisme. Jika umat memandang dan memperlakukan rumah TUHAN sebagai organisasi saja, maka ketidakadilan bisa terjadi di dalam rumah TUHAN. Ketidakadilan berupa tindakan diskriminatif, pilih-kasih, dan menutup diri.
Umat TUHAN mau tidak mau harus belajar memandang dan memperlakukan rumah TUHAN sebagai organisme. Ingat, organisme itu hidup, dinamis, tidak kaku dan beku. Jadi, umat yang memandang dan memperlakukan rumah TUHAN sebagai organisme, pastilah umat yang membuka diri, tidak diskriminatif, tidak pilih-kasih. Umat seperti ini sungguh akan menjadikan rumah TUHAN sebagai “rumah doa bagi segala bangsa”.
Gereja semestinya kita pandang dan perlakukan bukan hanya sebagai organisasi saja, tetapi juga sebagai organisme. Tadi saya sudah menjelaskan apa itu gereja-organisasi. Nah, sekarang apa itu gereja-organisme?
Gereja-organisme adalah gereja yang dicirikan oleh adanya pertumbuhan dan hidup. Gereja seperti ini hadir menjadi berkat – menjadi berkat melalui persekutuan kasih umat-Nya, dan melalui pelayanan penuh kebaikan dan keadilan bagi sesamanya. Gereja-organisme bertumbuh dan hidup seperti kisah Jemaat Mula-mula: “Mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan.” (Kisah Para Rasul 2:47) Gereja seperti ini sungguh akan menjadi “rumah doa bagi segala bangsa”.
GKI Bekasi Timur, kita mau pandang dan perlakukan sebagai apa? Sebagai organisasi? Saya pikir, ya, kita perlu memandang dan memperlakukan gereja ini sebagai organisasi. Kalau tidak demikian, kekacauan akan terjadi di sini. Dalam bergereja, bagaimana pun, kita harus sopan dan teratur. Untuk itu, kita butuh seperangkat aturan, tata gereja, tata tertib, dan birokrasi.
Namun, organisasi bukanlah hakikat dari gereja. Hakikat gereja adalah tubuh Kristus: “Kamu semua adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah anggotanya.” (1Kor 12:27) Itu berarti, gereja adalah organisme: ia dinamis, bertumbuh dan hidup, dan kelak menjadi “rumah doa bagi segala bangsa”.
Anda dan saya turut menentukan masa depan gereja. Untuk mewujudkan gereja sebagai “rumah doa bagi segala bangsa”, baiklah kita mulai dengan kesadaran bahwa ibadah yang kita lakukan tidak hanya menyangkut TUHAN, tetapi juga sesama dan dunia.
Roh Kudus memberi kemampuan kepada kita bersama untuk mewujudkan firman TUHAN ini. Amin.
GKI Bekasi Timur, 30 Januari 05
HMS
HMS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar