Dasar: Hagai 1:1-2:10
BEBERAPA waktu yang lalu, seorang Guru Besar Perjanjian Lama STT Jakarta, Bapak Profesor Ihromi, telah pulang ke pangkuan Allah Bapa di sorga. Ketika mempersiapkan renungan ini, tiba-tiba saya teringat akan masa-masa berkuliah Teologi Perjanjian Lama bersama dengan Bapak Ihromi. Saya teringat, suatu kali saya dan kawan-kawan membahas Kitab Hagai di bawah bimbingan Pak Ihromi. Sekalipun Kitab Hagai hanya memuat dua pasal, tapi kandungan pesannya mengundang diskusi yang cukup hebat. Pak Ihromi mencoba mengarahkan kami. Dan suatu waktu beliau berkata, “Pembahasan Kitab Hagai tampaknya selalu menarik.”
Kitab Hagai sebenarnya berisi pesan-pesan Allah yang disampaikan oleh Nabi Hagai kepada orang-orang Israel yang telah kembali dari pembuangan di Babel. Pada tanggal 12 Oktober, dua ribu lima ratus tahun yang lalu, pasukan Koresh dari Persia telah berhasil menundukkan Kerajaan Babel. Karena kebijakan Raja Koresh, orang-orang Israel diizinkan kembali ke tanah air mereka (Ezra 1:1-4). Kebijakan semacam ini tentu disambut baik. Itulah jawaban atas doa-doa mereka selama di pembuangan Babel. Mereka bersukacita, dan segera pulang ke tanah air mereka.
Ketika tiba di Yerusalem, mereka mendapati kota mereka telah hancur. Bait Allah yang dulunya dibangun Raja Salomo secara mewah dan megah, juga telah menjadi puing. Bagaimana pun mereka harus membenahi kehidupan mereka. Mereka harus membangun rumah mereka, usaha mereka, dan tempat ibadah mereka.
Tampaknya orang-orang Israel terlebih dahulu membangun rumah-rumah tinggal. Ini tentu dapat dipahami karena rumah tinggal adalah tempat berteduh keluarga sehari-hari.
Setelah rumah tinggal selesai dibangun, maka giliran usaha atau nafkah mereka dibenahi. Ini juga bisa dimengerti, karena usaha atau nafkah sangat dibutuhkan untuk kelanjutan hidup sehari-hari.
Kehidupan orang-orang Israel lambat laun pulih kembali. Masing-masing orang sudah membenahi kehidupannya. Namun, rupanya orang-orang Israel lupa untuk membangun Bait Suci. Mereka sibuk dengan urusan sendiri-sendiri. Oleh karena itu, TUHAN menyampaikan pesan-Nya melalui Hagai (ayat 4): “Apakah sudah tiba waktunya bagi kamu untuk mendiami rumah-rumahmu yang dipapani dengan baik, sedang Rumah ini tetap menjadi reruntuhan?” TUHAN mengingatkan dan mengajak umat Israel untuk membangun Bait Suci, Rumah-Nya.
Mengapa sih TUHAN berharap agar umat-Nya membangunkan bagi-Nya sebuah Rumah? Apakah Dia sama seperti manusia butuh Rumah? Pertanyaan ini sederhana, tapi untuk menjawabnya kita barangkali perlu merenung terlebih dahulu. Dalam bentuk yang lain, pertanyaan ini bunyinya begini: Mengapa gereja perlu dibangun? Katanya gereja bukan gedungnya, tapi orangnya. Kalau begitu, tidak harus dong membangun gedung gereja?
Kita simpan dulu pertanyaan tentang harus tidaknya membangun gedung gereja. Sekarang kita mau merenungkan pertanyaan paling awal tadi: mengapa TUHAN mengajak umat-Nya untuk membangun Rumah-Nya? Jawabannya ada dua, dan keduanya ini tidak dapat dipisahkan.
Pertama, TUHAN mengajak umat-Nya untuk membangun Rumah-Nya karena Dia menghendaki kebersamaan yang penuh kasih di tengah kehidupan dunia ini. Tanpa Rumah TUHAN, kehidupan umat akan berjalan sendiri-sendiri. Masing-masing orang sibuk dengan urusan rumahnya sendiri; sibuk dengan kepentingannya sendiri. Tak ada ikatan persaudaraan di antara mereka. Tanpa Rumah TUHAN, maka masyarakat yang tercipta adalah masyarakat yang terpecah-pecah; karena di dalamnya orang-orang berlaku egois!
Jadi, dalam hal ini, kita dapat mengartikan Rumah TUHAN sebagai ‘rumah keluarga TUHAN’, di mana masing-masing orang yang berhimpun di dalamnya adalah anggota-anggota keluarga TUHAN. Karena itu, ciri utama Rumah TUHAN adalah kasih persaudaraan. Di mana anggota keluarga TUHAN bertemu dalam kasih, di situlah TUHAN akan hadir. Ada sebuah kisah yang dapat menjelaskan hal ini.
Dua pria bersaudara bekerja bersama-sama di ladang milik keluarga. Salah seorang di antara mereka tidak menikah, dan yang satunya lagi menikah dan memiliki beberapa anak. Kedua saudara itu membagi hasil ladang dan keuntungan secara sama rata. Tapi suatu hari, pria yang tidak menikah berkata kepada dirinya sendiri, “Tidak benar kalau hasil ladang dibagi sama rata. Demikian juga dengan keuntungannya. Bukankah aku masih bujangan dan kebutuhanku tidak banyak? Saudaraku punya istri dan anak-anak. Ah, mestinya saudaraku mendapat bagian lebih besar dari aku.” Lantas, pada tengah malam hari, pria yang tidak menikah itu membawa sekarung gandum ke lumbung saudaranya. Diam-diam dia memasukkan gandum itu ke lumbung saudaranya.
Sementara itu, saudaranya yang sudah berkeluarga diam-diam memiliki pikiran yang sama. Dia berkata kepada dirinya sendiri, “Rasanya tidak benar kalau hasil ladang dan keuntungannya dibagi sama rata. Bukankah aku sudah menikah dan memiliki isteri yang merawatku dan anak-anak yang menghiburku? Saudaraku hidup sendiri, pasti dia punya banyak kebutuhan dan penghiburan. Ah, aku harus membagi hasil ladang dan keuntungannya ini lebih lagi untuk dia.” Maka, pada waktu subuh, pria yang sudah berkeluarga ini memasukkan sekarung gandum miliknya ke lumbung saudaranya.
Demikianlah kedua pria itu saling membagi hasil ladang dan keuntungannya tanpa sepengetahuan mereka masing-masing. Selama bertahun-tahun hal itu dilakukan mereka. Mereka sebenarnya merasa bingung karena lumbung mereka tidak pernah berkurang. Sampai pada suatu malam, mereka berdua secara kebetulan saling menuju ke lumbung gandum saudaranya pada waktu bersamaan. Lorong menuju masing-masing lumbung rupanya gelap. Di tengah kegelapan itu mereka saling bertabrakan dengan masing-masing membawa satu karung berisi gandum. Keduanya terkejut, tapi kemudian mereka baru menyadari apa yang terjadi. Mereka meletakkan karung gandum mereka dan saling berpelukan.
BEBERAPA waktu yang lalu, seorang Guru Besar Perjanjian Lama STT Jakarta, Bapak Profesor Ihromi, telah pulang ke pangkuan Allah Bapa di sorga. Ketika mempersiapkan renungan ini, tiba-tiba saya teringat akan masa-masa berkuliah Teologi Perjanjian Lama bersama dengan Bapak Ihromi. Saya teringat, suatu kali saya dan kawan-kawan membahas Kitab Hagai di bawah bimbingan Pak Ihromi. Sekalipun Kitab Hagai hanya memuat dua pasal, tapi kandungan pesannya mengundang diskusi yang cukup hebat. Pak Ihromi mencoba mengarahkan kami. Dan suatu waktu beliau berkata, “Pembahasan Kitab Hagai tampaknya selalu menarik.”
Kitab Hagai sebenarnya berisi pesan-pesan Allah yang disampaikan oleh Nabi Hagai kepada orang-orang Israel yang telah kembali dari pembuangan di Babel. Pada tanggal 12 Oktober, dua ribu lima ratus tahun yang lalu, pasukan Koresh dari Persia telah berhasil menundukkan Kerajaan Babel. Karena kebijakan Raja Koresh, orang-orang Israel diizinkan kembali ke tanah air mereka (Ezra 1:1-4). Kebijakan semacam ini tentu disambut baik. Itulah jawaban atas doa-doa mereka selama di pembuangan Babel. Mereka bersukacita, dan segera pulang ke tanah air mereka.
Ketika tiba di Yerusalem, mereka mendapati kota mereka telah hancur. Bait Allah yang dulunya dibangun Raja Salomo secara mewah dan megah, juga telah menjadi puing. Bagaimana pun mereka harus membenahi kehidupan mereka. Mereka harus membangun rumah mereka, usaha mereka, dan tempat ibadah mereka.
Tampaknya orang-orang Israel terlebih dahulu membangun rumah-rumah tinggal. Ini tentu dapat dipahami karena rumah tinggal adalah tempat berteduh keluarga sehari-hari.
Setelah rumah tinggal selesai dibangun, maka giliran usaha atau nafkah mereka dibenahi. Ini juga bisa dimengerti, karena usaha atau nafkah sangat dibutuhkan untuk kelanjutan hidup sehari-hari.
Kehidupan orang-orang Israel lambat laun pulih kembali. Masing-masing orang sudah membenahi kehidupannya. Namun, rupanya orang-orang Israel lupa untuk membangun Bait Suci. Mereka sibuk dengan urusan sendiri-sendiri. Oleh karena itu, TUHAN menyampaikan pesan-Nya melalui Hagai (ayat 4): “Apakah sudah tiba waktunya bagi kamu untuk mendiami rumah-rumahmu yang dipapani dengan baik, sedang Rumah ini tetap menjadi reruntuhan?” TUHAN mengingatkan dan mengajak umat Israel untuk membangun Bait Suci, Rumah-Nya.
Mengapa sih TUHAN berharap agar umat-Nya membangunkan bagi-Nya sebuah Rumah? Apakah Dia sama seperti manusia butuh Rumah? Pertanyaan ini sederhana, tapi untuk menjawabnya kita barangkali perlu merenung terlebih dahulu. Dalam bentuk yang lain, pertanyaan ini bunyinya begini: Mengapa gereja perlu dibangun? Katanya gereja bukan gedungnya, tapi orangnya. Kalau begitu, tidak harus dong membangun gedung gereja?
Kita simpan dulu pertanyaan tentang harus tidaknya membangun gedung gereja. Sekarang kita mau merenungkan pertanyaan paling awal tadi: mengapa TUHAN mengajak umat-Nya untuk membangun Rumah-Nya? Jawabannya ada dua, dan keduanya ini tidak dapat dipisahkan.
Pertama, TUHAN mengajak umat-Nya untuk membangun Rumah-Nya karena Dia menghendaki kebersamaan yang penuh kasih di tengah kehidupan dunia ini. Tanpa Rumah TUHAN, kehidupan umat akan berjalan sendiri-sendiri. Masing-masing orang sibuk dengan urusan rumahnya sendiri; sibuk dengan kepentingannya sendiri. Tak ada ikatan persaudaraan di antara mereka. Tanpa Rumah TUHAN, maka masyarakat yang tercipta adalah masyarakat yang terpecah-pecah; karena di dalamnya orang-orang berlaku egois!
Jadi, dalam hal ini, kita dapat mengartikan Rumah TUHAN sebagai ‘rumah keluarga TUHAN’, di mana masing-masing orang yang berhimpun di dalamnya adalah anggota-anggota keluarga TUHAN. Karena itu, ciri utama Rumah TUHAN adalah kasih persaudaraan. Di mana anggota keluarga TUHAN bertemu dalam kasih, di situlah TUHAN akan hadir. Ada sebuah kisah yang dapat menjelaskan hal ini.
Dua pria bersaudara bekerja bersama-sama di ladang milik keluarga. Salah seorang di antara mereka tidak menikah, dan yang satunya lagi menikah dan memiliki beberapa anak. Kedua saudara itu membagi hasil ladang dan keuntungan secara sama rata. Tapi suatu hari, pria yang tidak menikah berkata kepada dirinya sendiri, “Tidak benar kalau hasil ladang dibagi sama rata. Demikian juga dengan keuntungannya. Bukankah aku masih bujangan dan kebutuhanku tidak banyak? Saudaraku punya istri dan anak-anak. Ah, mestinya saudaraku mendapat bagian lebih besar dari aku.” Lantas, pada tengah malam hari, pria yang tidak menikah itu membawa sekarung gandum ke lumbung saudaranya. Diam-diam dia memasukkan gandum itu ke lumbung saudaranya.
Sementara itu, saudaranya yang sudah berkeluarga diam-diam memiliki pikiran yang sama. Dia berkata kepada dirinya sendiri, “Rasanya tidak benar kalau hasil ladang dan keuntungannya dibagi sama rata. Bukankah aku sudah menikah dan memiliki isteri yang merawatku dan anak-anak yang menghiburku? Saudaraku hidup sendiri, pasti dia punya banyak kebutuhan dan penghiburan. Ah, aku harus membagi hasil ladang dan keuntungannya ini lebih lagi untuk dia.” Maka, pada waktu subuh, pria yang sudah berkeluarga ini memasukkan sekarung gandum miliknya ke lumbung saudaranya.
Demikianlah kedua pria itu saling membagi hasil ladang dan keuntungannya tanpa sepengetahuan mereka masing-masing. Selama bertahun-tahun hal itu dilakukan mereka. Mereka sebenarnya merasa bingung karena lumbung mereka tidak pernah berkurang. Sampai pada suatu malam, mereka berdua secara kebetulan saling menuju ke lumbung gandum saudaranya pada waktu bersamaan. Lorong menuju masing-masing lumbung rupanya gelap. Di tengah kegelapan itu mereka saling bertabrakan dengan masing-masing membawa satu karung berisi gandum. Keduanya terkejut, tapi kemudian mereka baru menyadari apa yang terjadi. Mereka meletakkan karung gandum mereka dan saling berpelukan.
Tiba-tiba langit yang gelap menjadi terang, dan sebuah suara dari surga terdengar, “Di sinilah akhirnya Aku akan membangun rumah-Ku. Karena di mana saudara saling bertemu dalam kasih, di situlah Aku akan hadir.”
TUHAN mengajak kita orang-orang Kristen untuk membangun rumah TUHAN atau gereja, karena Dia menghendaki agar kita hidup dalam kebersamaan yang penuh kasih. TUHAN tahu, kecenderungan hidup kita adalah sibuk dengan urusan sendiri-sendiri; berlaku egois atau mementingkan diri sendiri. Padahal sikap egois atau mementingkan diri sendiri, dapat menyebabkan ketidakpuasan dan ketidakdamaian. Hagai 1:5-6 menggambarkan hal itu: “Oleh sebab itu, beginilah firman TUHAN semesta alam: Perhatikanlah keadaanmu! Kamu menabur banyak, tetapi membawa pulang hasil sedikit; kamu makan, tetapi tidak sampai kenyang; kamu minum, tetapi tidak sampai puas; kamu berpakaian, tetapi badanmu tidak sampai panas; dan orang yang bekerja untuk upah, ia bekerja untuk upah yang ditaruh dalam pundi-pundi yang berlobang!”
Kalau kita hidup secara egois, sibuk dengan urusan dan kepentingan diri sendiri, maka tentu kehidupan kita akan mengalami kehancuran. Karena itu, kita butuh wadah kebersamaan yang penuh kasih persaudaraan. Wadah itu tidak lain adalah Rumah TUHAN atau gereja. Gereja dibangun karena TUHAN mau menjadikannya sebagai rumah keluarga-Nya, tempat di mana anak-anak-Nya dapat hidup dalam kebersamaan penuh kasih persaudaraan.
Nah, kalau gereja tidak menampakkan kasih persaudaraan di dalamnya, maka sebenarnya itu tidak dapat lagi disebut gereja, tetapi tempat hiburan. Rumah TUHAN atau gereja pada hakikatnya dicirikan oleh kasih persaudaraan, sebab Tuhan Yesus yang menjadi batu penjurunya. Ini suatu peringatan bagi kita semua, sekaligus menjadi tantangan. Kiranya kita tidak hanya bersemangat dalam membangun gereja dalam pengertian fisiknya, tetapi juga bersemangat untuk meningkatkan kasih persaudaraan di antara kita. Sesungguhnya sekalipun gedung gereja sudah berdiri mewah dan megah, tapi tanpa kasih persaudaraan di dalamnya, gereja itu hanya reruntuhan belaka!
Yang kedua, mengapa TUHAN mengajak umat-Nya membangun Rumah-Nya? Jawabannya adalah karena TUHAN mau menyatakan kehadiran-Nya bagi umat-Nya dan bagi segala bangsa. Dengan dibangunnya Rumah TUHAN, “Roh-Ku tetap tinggal di tengah-tengahmu,” begitu tulis Hagai 2:6. Lalu Roh TUHAN pun menyampaikan berita: “Jangan takut!” Inilah berita damai sejahtera, shalom dari Allah. Dengan demikian, Rumah TUHAN selalu dicirikan oleh misinya, yakni menyatakan shalom Allah bagi umat-Nya dan dunia. Itulah sebabnya, segala kegiatan Rumah TUHAN harus selalu menunjukkan misinya.
Bagaimana dengan gereja? Gereja dibangun karena TUHAN mau menyatakan kehadiran-Nya bagi orang-orang Kristen dan bagi segala bangsa. Oleh karena itu, pertanyaan yang penting yang dapat diajukan adalah: apakah kita sebagai warga gereja sungguh-sungguh merasakan kehadiran TUHAN di tengah-tengah kegiatan gereja kita? Apakah kita mengalami shalom Allah dengan segala kegiatan gereja kita? Bagaimana dengan masyarakat di sekitar gereja kita? Apakah mereka merasakan kehadiran Roh Allah melalui kegiatan-kegiatan gereja kita? Apakah mereka mengalami damai sejahtera dengan kehadiran gereja? Saya pikir, kalau mereka merasakan kehadiran Roh Allah melalui kegiatan gereja dan mengalami damai sejahtera dengan kehadiran gereja, maka tidak mungkin terjadi penutupan gereja. Kalaupun terjadi, maka itu betul-betul tindakan anti-Kris, anti-shalom, anti-Allah!
Pembangunan fisik GKI Samanhudi memang tidak lama lagi selesai. Kita bersyukur karena dana pembangunan pun sudah mencukupi. Marilah kita lanjutkan pembangunan ini dengan meningkatkan kualitas kehadiran kita sebagai gereja. Kita jadikan gereja ini sebagai rumah keluarga TUHAN dan rumah misi TUHAN, sehingga kemegahannya menjadi penuh, karena Roh TUHAN hadir di tengah-tengah kita. Amin.
TUHAN mengajak kita orang-orang Kristen untuk membangun rumah TUHAN atau gereja, karena Dia menghendaki agar kita hidup dalam kebersamaan yang penuh kasih. TUHAN tahu, kecenderungan hidup kita adalah sibuk dengan urusan sendiri-sendiri; berlaku egois atau mementingkan diri sendiri. Padahal sikap egois atau mementingkan diri sendiri, dapat menyebabkan ketidakpuasan dan ketidakdamaian. Hagai 1:5-6 menggambarkan hal itu: “Oleh sebab itu, beginilah firman TUHAN semesta alam: Perhatikanlah keadaanmu! Kamu menabur banyak, tetapi membawa pulang hasil sedikit; kamu makan, tetapi tidak sampai kenyang; kamu minum, tetapi tidak sampai puas; kamu berpakaian, tetapi badanmu tidak sampai panas; dan orang yang bekerja untuk upah, ia bekerja untuk upah yang ditaruh dalam pundi-pundi yang berlobang!”
Kalau kita hidup secara egois, sibuk dengan urusan dan kepentingan diri sendiri, maka tentu kehidupan kita akan mengalami kehancuran. Karena itu, kita butuh wadah kebersamaan yang penuh kasih persaudaraan. Wadah itu tidak lain adalah Rumah TUHAN atau gereja. Gereja dibangun karena TUHAN mau menjadikannya sebagai rumah keluarga-Nya, tempat di mana anak-anak-Nya dapat hidup dalam kebersamaan penuh kasih persaudaraan.
Nah, kalau gereja tidak menampakkan kasih persaudaraan di dalamnya, maka sebenarnya itu tidak dapat lagi disebut gereja, tetapi tempat hiburan. Rumah TUHAN atau gereja pada hakikatnya dicirikan oleh kasih persaudaraan, sebab Tuhan Yesus yang menjadi batu penjurunya. Ini suatu peringatan bagi kita semua, sekaligus menjadi tantangan. Kiranya kita tidak hanya bersemangat dalam membangun gereja dalam pengertian fisiknya, tetapi juga bersemangat untuk meningkatkan kasih persaudaraan di antara kita. Sesungguhnya sekalipun gedung gereja sudah berdiri mewah dan megah, tapi tanpa kasih persaudaraan di dalamnya, gereja itu hanya reruntuhan belaka!
Yang kedua, mengapa TUHAN mengajak umat-Nya membangun Rumah-Nya? Jawabannya adalah karena TUHAN mau menyatakan kehadiran-Nya bagi umat-Nya dan bagi segala bangsa. Dengan dibangunnya Rumah TUHAN, “Roh-Ku tetap tinggal di tengah-tengahmu,” begitu tulis Hagai 2:6. Lalu Roh TUHAN pun menyampaikan berita: “Jangan takut!” Inilah berita damai sejahtera, shalom dari Allah. Dengan demikian, Rumah TUHAN selalu dicirikan oleh misinya, yakni menyatakan shalom Allah bagi umat-Nya dan dunia. Itulah sebabnya, segala kegiatan Rumah TUHAN harus selalu menunjukkan misinya.
Bagaimana dengan gereja? Gereja dibangun karena TUHAN mau menyatakan kehadiran-Nya bagi orang-orang Kristen dan bagi segala bangsa. Oleh karena itu, pertanyaan yang penting yang dapat diajukan adalah: apakah kita sebagai warga gereja sungguh-sungguh merasakan kehadiran TUHAN di tengah-tengah kegiatan gereja kita? Apakah kita mengalami shalom Allah dengan segala kegiatan gereja kita? Bagaimana dengan masyarakat di sekitar gereja kita? Apakah mereka merasakan kehadiran Roh Allah melalui kegiatan-kegiatan gereja kita? Apakah mereka mengalami damai sejahtera dengan kehadiran gereja? Saya pikir, kalau mereka merasakan kehadiran Roh Allah melalui kegiatan gereja dan mengalami damai sejahtera dengan kehadiran gereja, maka tidak mungkin terjadi penutupan gereja. Kalaupun terjadi, maka itu betul-betul tindakan anti-Kris, anti-shalom, anti-Allah!
Pembangunan fisik GKI Samanhudi memang tidak lama lagi selesai. Kita bersyukur karena dana pembangunan pun sudah mencukupi. Marilah kita lanjutkan pembangunan ini dengan meningkatkan kualitas kehadiran kita sebagai gereja. Kita jadikan gereja ini sebagai rumah keluarga TUHAN dan rumah misi TUHAN, sehingga kemegahannya menjadi penuh, karena Roh TUHAN hadir di tengah-tengah kita. Amin.
GKI Samanhudi, 09 Oktober 2005
HMS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar