Dasar: Kisah Para Rasul 2:41-47
Suatu hari, di sebuah tempat makan di Jakarta ini, iseng-iseng saya mengamati sepasang muda-mudi sedang ngobrol-ngobrol, sementara makanan belum terhidang. Dua muda-mudi ini tampak akrab bercakap-cakap.
Namun, ada kejadian yang menarik pada mereka. Handphone (HP) milik si pemuda berbunyi, dan ternyata ada SMS masuk. Si pemuda langsung membaca dan menjawab SMS-nya itu. Lalu apa yang dilakukan si pemudi? Si pemudi itu pun mengeluarkan HP-nya dan mulailah ia menggerakkan jempolnya, menulis SMS entah untuk siapa. Begitulah akhirnya yang dilakukan dua muda-mudi ini, sibuk mengurusi SMS masing-masing. Sampai makanan datang terhidang pun, mereka tampak asyik dengan HP masing-masing. Tidak ada lagi keakraban, yang ada urusan sendiri-sendiri, dan suara HP itulah yang menjadi suara mereka sekarang.
Itulah kejadian nyata yang saya saksikan. Saya merenungkan kejadian sederhana itu, dan saya berpikir, jangan-jangan kejadian seperti ini adalah bagian dari hidup kita sekarang ini. Maksud saya adalah: sekarang ini hasil-hasil teknologi begitu memikat hati kita. Perkembangan produk entertainment, entah dalam rupa hasil teknologi atau produksi, begitu menarik hati kita, sehingga tanpa sadar menghancurkan kehidupan sosial kita, kehidupan komunal atau koinonia kita. Keakraban pemuda-pemudi tadi sirna, begitu mereka mengurusi SMS masing-masing. HP hanya salah satu contoh saja. Belum produk-produk lain, misalnya televisi. Hampir dapat dipastikan, kebutuhan televisi untuk keluarga, sekalipun dalam satu rumah, jumlahnya lebih dari satu.
Perkembangan zaman memang patut kita syukuri. Tetapi, menurut saya, kita pun mesti waspada, karena tampaknya semua itu dapat menyuburkan egoisme kita, dan kita pun menjadi orang yang mendorong terjadinya krisis komunal.
Krisis komunal atau persekutuan tidak dapat disangkali melanda kehidupan gereja juga. Ibadah Gereja sekarang ini sering dianggap sebagai spiritual entertainment, hiburan rohani, sehingga ciri kehidupan komunal atau persekutuannya lama-lama hilang. Seperti layaknya ke bioskop, umat datang ke gereja sebagai penonton-penonton: duduk, menikmati hiburan rohani, lalu pulang, tanpa suatu tali persekutuan. Kehidupan persekutuan mulai hambar.
Pertanyaan penting yang harus kita renungkan adalah: mengapa? Apa akar masalahnya? Bukan pertanyaan: siapa yang salah?! Terkadang gereja terjebak mencari solusi soal persekutuan ini dengan saling menyalahkan ini atau itu. Semakin kita saling menyalahkan, bukankah itu berarti persekutuan kita semakin tidak solid?
Mari kita belajar tentang persekutuan yang solid dan ideal dari kehidupan Jemaat Mula-mula. Mudah-mudahan dari teladan Jemaat Mula-mula, kita menemukan akar persoalan persekutuan gereja. Ada tiga hal yang dapat kita pelajari dari Jemaat Mula-mula ini:
Yang pertama, tampak pada Kis 2:41, orang-orang setelah mendengar khotbah Petrus, mereka “menerima perkataannya dan memberi diri dibaptis”. Apa artinya ini buat kita? Artinya tidak lain adalah: bahwa mereka yang mau percaya akan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat, bersikap terbuka akan pekerjaan Roh Kudus. Ingat konteks Jemaat Mula-mula masih dalam kaitan peristiwa Pentakosta, pencurahan Roh Kudus.
Orang yang bersikap terbuka akan pekerjaan Roh Kudus adalah orang yang mengutamakan kehendak Allah, bukan kehendak dirinya sendiri. Itulah yang mereka lakukan. Mereka tidak mementingkan kehendak diri sendiri tetapi “menerima perkataannya dan memberi diri dibaptis”.
Nah, bagaimana dengan kita? Apakah kita sungguh-sungguh terbuka akan pekerjaan Roh Kudus? Sungguh-sungguh mengutamakan kehendak Allah ketimbang kehendak diri sendiri? Kalau mau kehidupan persekutuan solid dan penuh kasih, maka marilah kita membuka diri di hadapan Allah. Kita masing-masing mengutamakan kehendak Kristus, bukan mengutamakan kehendak kita, hobi kita, pikiran kita, dsb. Kristuslah yang seharusnya berkuasa di dalam hidup kita. Bukankah Kristus itu Raja dalam kehidupan kita? Mengapa kita seringkali menjadi raja-raja kecil? Orang yang mengutamakan kehendak Allah hampir dapat dipastikan selalu menampakkan sikap yang rendah hati. Dan sikap rendah hati tentulah akan menumbuhkan persekutuan, koinonia, yang solid dan ideal – karena itu Rasul Paulus menasehatkan kepada Jemaat Efesus: “Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar.” (Ef 4:2)
Yang kedua, setelah Jemaat Mula-mula itu terbuka akan karya Roh Kudus, maka pada Kis 2:42 dikatakan: “mereka bertekun dalam pengajaran dan dalam persekutuan”. Kalimat “bertekun dalam pengajaran dan dalam persekutuan” menunjukkan bahwa mereka mau serius dengan kehidupan rohani dan persekutuan mereka. Mereka tidak setengah-setengah, tidak asal-asalan. Mereka bertekun! Kata bertekun di sini menunjukkan kepada kita bahwa mereka sungguh-sungguh berniat dan bertekad menumbuhkan kehidupan rohani dan persekutuan mereka. Karena mereka berniat dan bertekad, maka mereka mau belajar dan bersekutu di bawah terang Firman TUHAN.
Nah, apakah kita sudah seperti mereka? Apakah kita berniat dan bertekad untuk menumbuhkan kehidupan rohani dan persekutuan kita? Kalau kita berniat dan bertekad, maka menurut saya, kita tentu rindu untuk belajar firman TUHAN dan rindu bersekutu dengan TUHAN. Apakah kita rindu hadir dalam kegiatan-kegiatan belajar firman Tuhan di gereja?
Yang terakhir, pelajaran yang dapat kita petik dari kehidupan Jemaat Mula-mula adalah bahwa mereka selalu “berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa”. Apa artinya “berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa”? Artinya adalah: mereka selalu mau mengingat terus teladan Tuhan Yesus, yakni memecahkan roti, dan mereka juga mau bercakap-cakap dengan Tuhan Yesus di dalam doa. Mereka mengingat teladan Tuhan Yesus bukan saja melalui pikiran mereka, tapi melalui perbuatan nyata mereka. Mereka sadar, tanpa mengingat terus teladan Yesus dan tanpa bercakap-cakap dengan Tuhan Yesus di dalam doa, mereka bisa lupa diri, bisa tenggelam dalam kehidupan mereka yang terus berubah. Mereka mau tetap menjalin hubungan dengan Tuhan Yesus melalui hidup mereka.
Kita ini hidup dalam zaman yang begitu cepat berubah. Kalau kita tidak semakin erat berhubungan dengan Tuhan Yesus, maka tentu kita akan tenggelam dalam kehidupan kita sekarang ini. Tantangan zaman sekarang ini sungguh-sungguh dapat membuat persekutuan kita rapuh. Di awal saya telah menunjukkan bagaimana hasil-hasil teknologi dapat menyuburkan sikap egois, individual. Oleh karena itu, mari kita mengingat terus teladan Kristus melalui perbuatan kita. Dan jangan lupa, tumbuhkan terus kehidupan doa kita kepada Kristus.
Demikianlah ketiga hal di atas (terbuka akan karya Roh Kudus; bertekun dalam pengajaran dan dalam persekutuan, dan berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa) menjadi ciri khas umat kristiani mula-mula. Itulah kehidupan komunal, persekutuan atau koinonia yang solid dan ideal. Kehidupan persekutuan seperti itu disukai semua orang dan mendorong banyak orang untuk datang kepada Tuhan Yesus.
Kiranya Gereja bertumbuh sebagai koinonia yang lebih solid seperti Jemaat Mula-mula ini. Tuhan memberkati kita. Amin.
Suatu hari, di sebuah tempat makan di Jakarta ini, iseng-iseng saya mengamati sepasang muda-mudi sedang ngobrol-ngobrol, sementara makanan belum terhidang. Dua muda-mudi ini tampak akrab bercakap-cakap.
Namun, ada kejadian yang menarik pada mereka. Handphone (HP) milik si pemuda berbunyi, dan ternyata ada SMS masuk. Si pemuda langsung membaca dan menjawab SMS-nya itu. Lalu apa yang dilakukan si pemudi? Si pemudi itu pun mengeluarkan HP-nya dan mulailah ia menggerakkan jempolnya, menulis SMS entah untuk siapa. Begitulah akhirnya yang dilakukan dua muda-mudi ini, sibuk mengurusi SMS masing-masing. Sampai makanan datang terhidang pun, mereka tampak asyik dengan HP masing-masing. Tidak ada lagi keakraban, yang ada urusan sendiri-sendiri, dan suara HP itulah yang menjadi suara mereka sekarang.
Itulah kejadian nyata yang saya saksikan. Saya merenungkan kejadian sederhana itu, dan saya berpikir, jangan-jangan kejadian seperti ini adalah bagian dari hidup kita sekarang ini. Maksud saya adalah: sekarang ini hasil-hasil teknologi begitu memikat hati kita. Perkembangan produk entertainment, entah dalam rupa hasil teknologi atau produksi, begitu menarik hati kita, sehingga tanpa sadar menghancurkan kehidupan sosial kita, kehidupan komunal atau koinonia kita. Keakraban pemuda-pemudi tadi sirna, begitu mereka mengurusi SMS masing-masing. HP hanya salah satu contoh saja. Belum produk-produk lain, misalnya televisi. Hampir dapat dipastikan, kebutuhan televisi untuk keluarga, sekalipun dalam satu rumah, jumlahnya lebih dari satu.
Perkembangan zaman memang patut kita syukuri. Tetapi, menurut saya, kita pun mesti waspada, karena tampaknya semua itu dapat menyuburkan egoisme kita, dan kita pun menjadi orang yang mendorong terjadinya krisis komunal.
Krisis komunal atau persekutuan tidak dapat disangkali melanda kehidupan gereja juga. Ibadah Gereja sekarang ini sering dianggap sebagai spiritual entertainment, hiburan rohani, sehingga ciri kehidupan komunal atau persekutuannya lama-lama hilang. Seperti layaknya ke bioskop, umat datang ke gereja sebagai penonton-penonton: duduk, menikmati hiburan rohani, lalu pulang, tanpa suatu tali persekutuan. Kehidupan persekutuan mulai hambar.
Pertanyaan penting yang harus kita renungkan adalah: mengapa? Apa akar masalahnya? Bukan pertanyaan: siapa yang salah?! Terkadang gereja terjebak mencari solusi soal persekutuan ini dengan saling menyalahkan ini atau itu. Semakin kita saling menyalahkan, bukankah itu berarti persekutuan kita semakin tidak solid?
Mari kita belajar tentang persekutuan yang solid dan ideal dari kehidupan Jemaat Mula-mula. Mudah-mudahan dari teladan Jemaat Mula-mula, kita menemukan akar persoalan persekutuan gereja. Ada tiga hal yang dapat kita pelajari dari Jemaat Mula-mula ini:
Yang pertama, tampak pada Kis 2:41, orang-orang setelah mendengar khotbah Petrus, mereka “menerima perkataannya dan memberi diri dibaptis”. Apa artinya ini buat kita? Artinya tidak lain adalah: bahwa mereka yang mau percaya akan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat, bersikap terbuka akan pekerjaan Roh Kudus. Ingat konteks Jemaat Mula-mula masih dalam kaitan peristiwa Pentakosta, pencurahan Roh Kudus.
Orang yang bersikap terbuka akan pekerjaan Roh Kudus adalah orang yang mengutamakan kehendak Allah, bukan kehendak dirinya sendiri. Itulah yang mereka lakukan. Mereka tidak mementingkan kehendak diri sendiri tetapi “menerima perkataannya dan memberi diri dibaptis”.
Nah, bagaimana dengan kita? Apakah kita sungguh-sungguh terbuka akan pekerjaan Roh Kudus? Sungguh-sungguh mengutamakan kehendak Allah ketimbang kehendak diri sendiri? Kalau mau kehidupan persekutuan solid dan penuh kasih, maka marilah kita membuka diri di hadapan Allah. Kita masing-masing mengutamakan kehendak Kristus, bukan mengutamakan kehendak kita, hobi kita, pikiran kita, dsb. Kristuslah yang seharusnya berkuasa di dalam hidup kita. Bukankah Kristus itu Raja dalam kehidupan kita? Mengapa kita seringkali menjadi raja-raja kecil? Orang yang mengutamakan kehendak Allah hampir dapat dipastikan selalu menampakkan sikap yang rendah hati. Dan sikap rendah hati tentulah akan menumbuhkan persekutuan, koinonia, yang solid dan ideal – karena itu Rasul Paulus menasehatkan kepada Jemaat Efesus: “Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar.” (Ef 4:2)
Yang kedua, setelah Jemaat Mula-mula itu terbuka akan karya Roh Kudus, maka pada Kis 2:42 dikatakan: “mereka bertekun dalam pengajaran dan dalam persekutuan”. Kalimat “bertekun dalam pengajaran dan dalam persekutuan” menunjukkan bahwa mereka mau serius dengan kehidupan rohani dan persekutuan mereka. Mereka tidak setengah-setengah, tidak asal-asalan. Mereka bertekun! Kata bertekun di sini menunjukkan kepada kita bahwa mereka sungguh-sungguh berniat dan bertekad menumbuhkan kehidupan rohani dan persekutuan mereka. Karena mereka berniat dan bertekad, maka mereka mau belajar dan bersekutu di bawah terang Firman TUHAN.
Nah, apakah kita sudah seperti mereka? Apakah kita berniat dan bertekad untuk menumbuhkan kehidupan rohani dan persekutuan kita? Kalau kita berniat dan bertekad, maka menurut saya, kita tentu rindu untuk belajar firman TUHAN dan rindu bersekutu dengan TUHAN. Apakah kita rindu hadir dalam kegiatan-kegiatan belajar firman Tuhan di gereja?
Yang terakhir, pelajaran yang dapat kita petik dari kehidupan Jemaat Mula-mula adalah bahwa mereka selalu “berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa”. Apa artinya “berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa”? Artinya adalah: mereka selalu mau mengingat terus teladan Tuhan Yesus, yakni memecahkan roti, dan mereka juga mau bercakap-cakap dengan Tuhan Yesus di dalam doa. Mereka mengingat teladan Tuhan Yesus bukan saja melalui pikiran mereka, tapi melalui perbuatan nyata mereka. Mereka sadar, tanpa mengingat terus teladan Yesus dan tanpa bercakap-cakap dengan Tuhan Yesus di dalam doa, mereka bisa lupa diri, bisa tenggelam dalam kehidupan mereka yang terus berubah. Mereka mau tetap menjalin hubungan dengan Tuhan Yesus melalui hidup mereka.
Kita ini hidup dalam zaman yang begitu cepat berubah. Kalau kita tidak semakin erat berhubungan dengan Tuhan Yesus, maka tentu kita akan tenggelam dalam kehidupan kita sekarang ini. Tantangan zaman sekarang ini sungguh-sungguh dapat membuat persekutuan kita rapuh. Di awal saya telah menunjukkan bagaimana hasil-hasil teknologi dapat menyuburkan sikap egois, individual. Oleh karena itu, mari kita mengingat terus teladan Kristus melalui perbuatan kita. Dan jangan lupa, tumbuhkan terus kehidupan doa kita kepada Kristus.
Demikianlah ketiga hal di atas (terbuka akan karya Roh Kudus; bertekun dalam pengajaran dan dalam persekutuan, dan berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa) menjadi ciri khas umat kristiani mula-mula. Itulah kehidupan komunal, persekutuan atau koinonia yang solid dan ideal. Kehidupan persekutuan seperti itu disukai semua orang dan mendorong banyak orang untuk datang kepada Tuhan Yesus.
Kiranya Gereja bertumbuh sebagai koinonia yang lebih solid seperti Jemaat Mula-mula ini. Tuhan memberkati kita. Amin.
GKI Kedoya, 19 September 2006
HMS
HMS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar